EDUKASI UNTUK SEMUA PIHAK.
Senja tadi saya mendapatkan surat dari sekolah anak saya. Surat itu harus saya tandatangani, dan harus dikembalikan besok pagi (iya, anak-anak saya belum libur). Sebelum isian tanda tangan ada tulisan “sudah membaca dan memahami”. Isinya? Dua hal. Salah satunya : mulai 1 Oktober motor dan mobil pengantar hanya diperbolehkan mengedrop anak, kemudian berlalu, bukan parkir, supaya halaman sekolah bisa dipakai untuk kegiatan lain.
Bagi saya ini keputusan yang bagus. Sudah semestinya lembaga pendidikan melakukan edukasi kepada para stakeholders. Maka saya tak habis pikir kenapa masih ada sekolah yang mengizinkan muridnya membawa mobil (sekolah anak sulung saya melarangnya), memarkirnya di jalanan sekitar sekolah, sehingga menganggu warga.
Yang dimaksud kegiatan lain yang memanfaatkan halaman itu misalnya gugus tugas siswa-siswi yang tak hanya memberi salam kepada temannya (termasuk terhadap anak-anak kecil usia TK dan SD).
Tak hanya memberi salam? Iya, harus mebantu temannya, terutama anak kecil, turun dari motor dan mobil pengantar. Maklumlah, bawaan anak-anak sekarang memang berat dan banyak — termasuk bekal makanan dan minuman. Oh ya, TK-SD-SMP berada dalam satu kompleks.
Mungkin itu berlebihan. Tetapi saya salut karena niatnya, seperti disebut dalam surat, adalah merawat kepedulian kepada sesama dan mengurangi individualisme.
Memang begitu mestinya, namanya juga sekolah. Lembaga pendidikan. Bukan sekadar lembaga pengajaran. Di dalamnya ada penanaman nilai-nilai. Maka saya pun setuju ketika dulu mendatangani kesanggupan, bersama anak sulung saya, untuk dikeluarkan jika mencontek dan melakukan plagiarisme.
Sungguh perjuangan berat di zaman yang cenderung menghalalkan segala cara, sehingga ada guru yang membetulkan jawaban ujian murid untuk menambah kelulusan. Ada juga sekelompok guru yang melaporkan kecurangan korpsnya malah dipersulit kariernya. Inilah zaman ketika lulus 100 persen sekadar menjadi tujuan, dan ketika lulusan tak diterima di universitas negeri akan dianggap aib bagi sekolah.
Sungguh aneh jika kepala sekolah dan para guru mudah menyerah terhadap tekanan sosial yang tak benar dengan alasan, “Habis gimana lagi? Sistemnya gitu sih.” Oh sistem semprul sontoloyo! Alangkah keparatnya!
Maka sampai hari ini saya sangat menaruh hormat kepada Bu Guru TK yang sejak dini mengumumkan satu hal penting kepada para orangtua.
“Kalau Bapak dan Ibu ingin anak-anaknya bisa membaca dan berhitung, silakan cari TK lain. Mengajari membaca dan berhitung itu tugas guru kelas satu SD. Di sini namanya taman kanak-kanak, tempat anak bermain dan bersosialisasi sebagai persiapan masuk SD,” demikian Bu Guru berpidato. Saya kagum. Saya salut.
Kembali kepada soal kepedulian tadi, yang tak cukup dengan hanya memberi salam. Bukankah banyak sekolah yang melakukan sambutan kepada murid oleh kepala sekolah dan guru? Tapi dari satu-dua sampel saya lihat itu jadi robotis — mirip pramugari melakukan peragaan keselamatan sebelum lepas landas. Pak Guru dan Bu Guru ulurkan tangan, murid mencium tangan, hanya menjadi formalitas belaka.
Saya lebih menghargai kepala sekolah dan guru yang berkeliling menyapa siswa, sesekali bercanda, sebelum pelajaran dimulai. Tapi yang ini pun tampaknya semakin jarang.