KITA HANYA AKAN MELIHATNYA SEBAGAI HIASAN.
Setelah minyak tanah mahal (bahkan bisa langka) makin berkuranglah gerobak penjaja makanan yang memasang lampu petromaks*. Untuk kompor, mereka sudah menggunakan elpiji. Tapi lampu? Sebagian menggantinya dengan lilin. Ada juga yang menggunakan aki untuk menyalakan neon. Tanpa petromaks, gerobak bakmi dan nasi goreng bukan lagi penerang berjalan. Kini mereka tertelan oleh cahaya rumah-rumah di kanan-kiri jalan.
Adapun penjual makanan bergerobak yang mangkal, bukan ngider, sudah lama mereka memakai listrik — apalagi yang bergerombol sebagai food court. Inilah keajaiban ekonomi rakyat: ada saja juluran kabel listrik yang sampai ke penjaja.
Listrik itu bisa dari rumah tertentu, bisa pula dari kantor tertentu (seperti halnya air bersih), dengan maupun tanpa perjanjian. Yang lebih gila juga ada: langsung nyantol kabel PLN, lalu menambahkan sekering.
Tentang listrik, saya ulang di sini, itu meninggalkan kenangan tentang jasa penyewaan petromaks di pasar-pasar. Yang dulu sering saya lihat adalah di Pasar Palmerah dan Pasar Kramatjati (bukan yang pasar induk) dekat Cililitan. Masing-masing di Jakarta Pusat dan Jakarta Timur. Setiap sore “petugas” persewaan membersihkan lampu, mengganti kaos lampu, lalu menyalakannya (dengan memompanya, tentu saja) saat pasar tumpah mulai buka.
Ternyata tak perlu waktu lama , sejak 2006, untuk meminggirkan petromaks yang sudah berusia seabad sejak diciptakan oleh Max Graets itu. Dulu ketika mem(p)osting petromaks, saya tak membayangkan bahwa pengurangan subsidi BBM, khususnya minyak tanah, akan berujung ke petromaks. Yang selalu terbayang adalah kompor. Demikian pula ketika mem(p)osting dangdut Pancaran Sinar Petromax.
Di luar neraca rasional beban anggaran negara, berkurangnya petromaks bisa menjadi cerita, apalagi setelah nanti lampu pompa itu punah — berapa banyak novel dan cerpen yang menyebut petromaks? Saya tak tahu apakah perahu (bukan kapal) nelayan masih memakai petromaks. Harga eceran tertinggi minyak tanah saat ini adalah Rp 2.900/liter — tapi di lapangan bisa Rp 4.000 bahkan boleh Rp 8.000.
Oh ya, tentang petromaks, saya ingat satu hal. Ketika masih SMP saya menonton sebuah pementasan ketoprak dalam sebuah rumah ukuran sekitar 3 x 6 meter, di sebuah desa di Dieng, Banjarnegara, Jawa Tengah. Hanya diterangi sebuah petromaks (juga tanpa tata suara). Penonton duduk berjejer di atas dingklik panjang berbahan glugu (batang pohon kelapa). Petromaks adalah bagian dari teater rakyat keliling.
Sekarang, dalam proses peminggiran petromaks ini, sebuah kedai hidangan daging bebek di sebuah mal menjadikan petromaks sebagai dekor. Fungsional sekaligus artistik. Kaos lampu diganti oleh lampu hemat energi.
Nasib petromaks seperti lampu gantung model antik itu. Menjadi hiasan. Tak apa, inilah kemajuan teknologi.
*) Dari merek Petromax. Sebagian orang ada yang menyebutnya “strongking” dan “stormking”, bergantung pada merek yang popular di daerahnya.