PARA TUAN KABUR, SOPIRNYA JADI PESAKITAN.
Dua belas orang kaya disidang dan dihukum denda Rp 150.000 hingga Rp 300.000. Kesalahan mereka: memberikan uang kepada pengemis jalanan. Keduabelas orang kaya itu memilih membayar denda ketimbang dibui dua bulan.
Demikian menurut laporan Investor Daily kemarin. Di mana? Jakarta. Peristiwa terjadi di empat titik. Penyidangan tindak pidana ringan berlangsung di PN Jakarta Pusat, PN Jakarta Timur, dan PN Jaksel. Judul beritanya: “Ditangkap, Pemberi Sedekah di Jalanan”.
Hukuman itu lebih ringan daripada ancaman maksimal Perda Tibum 2007 yang akan mendenda Rp 20 juta (atau penjara enam bulan) kepada siapa pun yang memberikan uang kepada pengemis.
Benarkah para pelanggar Perda itu orang kaya? Kepala Dinas Sosial DKI Jakarta Budihardjo mengatakan bahwa mereka naik mobil mewah. “Kebanyakan yang mengikuti sidang para sopirnya, sedangkan para tokay itu sudah kabur dengan naik taksi,” tutur Budihardjo kepada koran itu.
Saya tidak tahu kenapa Pemprov DKI, demikian pula pemda lain, bisa kehabisan akal menghadapi pengemis. Akhirnya, seperti hukum dalam pemberantasan korupsi, pemberi dan penerima dianggap sama-sama bersalah. Para pengambil keputusan dan pengabsah perda berharap cara macam itu akan bikin kapok.
Adapun dalam penegakan perda di lapangan, bisa saja muncul kekonyolan. Sopir mendapatkan job tambahan: mewakili bos atau tauke dalam sidang.
Si kaya tidak kapok, si pengemis tidak jera, petugas penertib lama kelamaan mungkin kecapaian dan bosan — hanya mau bergerak jika diperintah.
Menurut Anda bagaimana sebaiknya?