↻ Lama baca 3 menit ↬

KENANGAN TENTANG BOCAH KESAYANGAN TETANGGA.

Bunyi “praakk…” yang pelan. Seperti suara bambu kering terbelah, kata sang penolong. Setelah bunyi itu, seorang bocah perempuan usia dua tahun lebih hanya bisa gagap berteriak kepada pria yang kemudian turun tangan itu, “Aihan, dalah, dalah.” Yang dia maksud adalah Rayhan, bocah satu tahun lebih sepuluh bulan, temannya bermain, anak tetangga depan rumah.

Saya tidak melihat. Saya hanya mendengar penuturan beberapa saksi.

Rayhan sudah tengkurap di belakang ban SUV keperakan yang terhenti mepet di sisi kanan jalan. Dia diam. Darah mengalir dari sisi kiri kepalanya. Pamannya yang tadi mendengar “praakk..” dan teriakan gagap bocah perempuan seberang rumahnya itu segera membopong Rayhan yang tak keluarkan rintihan.

Darah mengucur deras dari kepala Rayhan, bersama gumpal keputihan yang bukan darah. Pengemudi SUV masih di dalam mobilnya. Dia kebingungan.

Seorang ibu yang dari jarak 15 meteran mengira si terlindas adalah boneka pun menjerit. Ibu-ibu lain keluar dan menjerit-jerit. Ibu-ibu lainnya lagi berdatangan, bahkan dari lain RT. Mereka menjerit, meratap. Masing-masing ibu menelepon suaminya yang sudah di perjalanan agar segera pulang. Beberapa anjing milik warga yang biasanya ribut menyalak kalau ada keramaian hanya melolong panjang.

Saya tidak melihat. Saya hanya mendengar penuturan beberapa saksi.

Pengemudi akhirnya keluar dari mobil yang dikerubungi ibu-ibu setelah dilihatnya seorang pria yang dia kenal baik datang — pria yang rumahnya dia beli hampir tiga tahun lalu.

Menurut penuturan banyak saksi, pengemudi itu berkali-kali bilang dirinya tak melihat, tak sadar tentang bunyi “praakkk…” pelan itu. Bunyi kepala tergilas roda, dengan sebelah pipi kotor bekas ban…

Saya tidak melihat. Saya hanya mendengar penuturan beberapa saksi. Biarlah polisi yang menyelidikinya, kenapa di jalan sempit dengan beberapa polisi tidur yang tak memungkinkan mobil ngebut itu mobil mepet ke kanan, sehingga anak perempuan yang masih di balik pintu pagar kakeknya itu selamat.

Muhammad Rayhan, naman anak itu. Dalam perjalanan ke rumah sakit terdekat, di atas pangkuan seorang pria tetangga yang bermandikan darah (yang mengambil dari gendongan pamannya), di atas jok tengah SUV yang melindasnya, dia sempat tersenyum.

Anak yang lucu, yang disayang para tetangga, itu kemudian bergerak pelan, seperti ada kontraksi. Lalu napas dari hidungnya tak ada lagi. Nadinya berhenti. Si pemangku hanya bisa meratap, “Inna lillahi wa inna ilayhi raji’un…” Kira-kira seratus meter dari rumahnya, di depan musala.

Saya tidak melihat. Saya hanya mendengar penuturan beberapa saksi tentang kejadian beberapa hari lalu itu. Tentang anak tetangga di sebelah kiri rumah, yang terenggut nyawanya di depan rumahnya ketika dia keluar dari rumah tetangga seberang rumah.

Rayhan kesayangan para tetangga. Beberapa orang punya panggilan kesayangan untuknya. Istri saya memanggilnya Blewah, karena dia bundar, berkulit terang, lucu, menggemaskan.

Blewah yang ketika bayi ada di rumah saya. Blewah yang ketika mulai belajar berjalan, baby walker-nya ada di rumah saya. Blewah yang kadang “diculik” istri saya untuk dibawa pulang, direbahkan di sofa lalu dirubung.

Ketika mulai bisa berjalan, Blewah suka menggoyangkan pengait pintu pagar saya, sehingga berbunyi “dek-dek-dek” sambil memanggil-manggil istri saya, “Uwak, Uwak…” Saya yang keluar, sambil geli bilang kepadanya, ‘Uwak belum pulang tuh, entar aja ya…” Dia melihat saya, tersenyum, lalu balik badan. Kadang seperempat jam kemudian dia mengulanginya. Dia menunggu Uwak pulang yang seperti biasa pasti akan menyapanya, kalau perlu merebut dari ibunya.

Di manakah ujung kehidupan? Kita tak pernah tahu. Bagaimanakah jalan menuju ke sana, sebagian besar dari kita tak memilihnya. Apalagi untuk Blewah yang baru setahun lebih sepuluh bulan. Dia lebih tahu cara memilih permen milik Uwak sebelah rumah.

Pak Haji, yang memangku Blewah kala maut menyelesaikan deritanya, berujar kepada saya, “Takdir di keluarga Rayhan, musibah di bapak yang nabrak dia.”

Tak ada yang tahu tentang teka-teki kehidupan. Si penabrak adalah tetangga tak sampai berselisih sepuluh rumah.

Selamat jalan, Blewah. Fotomu dalam gendongan Uwak ada di arsip saya, tertanggal 21 Februari 2008. Kamu pernah mengisi kehidupan dunia sekitarmu, dan terutama dunia ayah dan ibumu serta kakak-kakakmu, selama 10 Oktober 2007 sampai 19 Agustus 2009. Ya, kamu, yang ketika masih bayi banget beredar dari gendongan ke gendongan. Kamu, yang beberapa minggu lalu melintas depan rumah dengan celana baru, Uwak dan putrinya berkomentar penuh kegemasan…

Saya tuliskan ini ketika pikiran mulai agak jernih, Rayhan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *