Merdeka! Bukan Mengeluh, Hanya Mengenang

▒ Lama baca 2 menit

MAKA KENANGLAH NILAI TUKAR RUPIAH (SEJAUH ANDA INGAT).

Dengan selembar dua ribu rupiah, apa yang akan Anda dapatkan? “Selembar dua ribuan” dan “uang duaribuan”, adalah istilah baru yang muncul tahun ini, bulan ini. Belum banyak berita kisah (features), dan terutama fiksi, yang sampai hari memakai istilah itu sampai hari ini.

Denominasi baru memunculkan istilah baru. Dalam belantara teks, terbukti bahwa blog lebih dulu memakainya. Misalnya Junaidi Muadzin: “selembar uang dua ribu“.

Jika menyangkut uang, lantas kita cuma menyebut “lima”, “dua puluh lima”, “lima puluh”, maka bergantung pada konteks itu bisa berarti diimbuhi juta, miliar, triliun — bahkan pakai tambahan dollar (Amrik). Untuk rupiah, nilai pecahan terkecil adalah Rp 100, berupa koin.

Betul, serupiah itu senilai seratus sen. Lantas ke mana sen, benggol (2,5 sen), ketip (10 sen), talen (25 sen), dan suku (50 sen)? Biarlah itu menjadi bagian dari khazanah lama.

Itu pecahan arkais. Tak penting untuk diingat, karena Anda tahu pun tak mengangkat gengsi dalam adab gaul, malah bisa-bisa diledek sudah sama arkaisnya.

Oh, arkais? Kapan? Ehm, sesungguhnya sampai 1967 (ya, abad lalu, pada awal Orde Baru) pun ketip, talen, dan suku — juga ringgit yang senilai Rp 2,5 — masih punya nilai tukar.

Sen hanya bernilai jika kita bicara mata uang asing tertentu. Misalkan sen asing kemudian tak ada nilanya lagi, bahkan sebagai mainan angka psikologis US$ 9,95 pun tiada lagi, maka kata sen kita biarkan terkubur, hanya hidup dalam tembolok mesin pencari.

Rupiah kian tak berdaya. Denominasi berangka kecil makin sedikit. Tak usah mengeluh, apalagi menyumpah, toh kita tak separah Zimbabwe yang setahun lalu mengeluarkan pecahan 100 miliar dollar.

Itulah titik ketika jejeran angka nol, yang secara visual sebagai sajian tipografis menjadi memusingkan bagi orang awam. Selain memusingkan juga mengesalkan karena hadir sebagai persoalan nyata, bukan semata kajian matematis dan filosofis tentang nol.

Jadi, sekarang ini, dengan selembar Rp 2.000,00 apa yang akan Anda dapatkan? Saya menunggu cerita Anda dengan menggali ingatan 15 tahun terakhir.

Sebelum Anda berbagi, izinkanlah saya melampirkan gambar dari dua album kelahiran kedua putri saya. Sejak awal saya sadar, sejarah mereka tak hanya direkam dalam foto (yang belum digital) tetapi juga “artefak” atau “artifak”: ada bon toko emas untuk sepasang anting 0,5 gram seharga Rp 10.000,00. Kebetulan ketika anak pertama lahir (Semarang, 1993 — saya wira-wiri Semarang-Salatiga), pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM sehingga tabelnya saya angkut sekalian (harga termurah bensin yang saya ingat adalah Rp 54,00, sebelum 1976).

Ketika kelahiran anak kedua (Jakarta, 1997), internet belum semerata sekarang. Alamat pribadi e-mail gratis yang berbasis web hanya dari Hotmail dan Email.com, wadah konten pribadi baru disediakan oleh Geocities. Setidaknya setahu dan sepengalaman saya waktu itu. Maka cara lama artifak binti artefak pun saya lakukan.

Apa yang Anda ingat dari Rp 2.000,00? Dua nol di belakang koma itu mengikuti aturan penulisan baku (“Rp” tanpa titik, sebelum angka disela oleh spasi, setiap tiga nol disela titik, setelah itu ditutup “koma nol-nol”), padahal sekarang itu konyol. Nol di belakang koma, dalam rupiah, tak dapat ditukar ongol-ongol maupun jengkol.

Rp 2.000,00. Lima belas tahun terakhir ini. Maaf terlalu jauh. Lima tahun terakhir saja. Anda ingat?
Merdeka!

UPDATE 16/08/09 21.23: Posting Erwin Mulyadi, Juli 2009

Tinggalkan Balasan