↻ Lama baca 3 menit ↬

TARIF TOL AKAN NAIK, TRUK TETAP MELINTAS 24 JAM.

Banyak pelanggaran di jalan tol yang dibiarkan berlangsung terus menerus. Misalnya? Kendaraan yang berjalan di bawah kecepatan minimal (60 km/jam). Beberapa mobil pribadi melakukannya, kadang sambil berhalo-halo atau ber-SMS-ria. Sisanya, yang terbanyak, adalah truk.

Kalau truk ditegur kenapa tidak mau cepat, maka sopirnya akan mendadak pintar mengajari soal bahasa. Tidak mau dan tidak mampu itu beda, kata mereka.

Bagi pengguna lain, tak mampu dan tak mau toh sama. Lelet. Di bawah 60 km/jam. Kenapa masih juga berjalan menghalangi orang lain?

Lagi-lagi sopir truk akan mendadak terpelajar, mengajari soal fisika dan mekanika. Soal kakas, percepatan, perlambatan, dan seterusnya. Dalam bahasa sopir, “Cepet sih bisa, tapi ngeremnya gimana, Bos?”

Tentu sepenuhnya bukan salah para sopir truk. Mereka hanya mencari nafkah, sekaligus sebagai korban dari para tuan dan majikan. Jasa Marga dan operator lain ikut bersalah, dan sekaligus ikut memanen getah di sektor lain yang membiarkan truk berlebih muatan dan tata transportasi yang mengakibatkan pertumbuhan pesat mobil pribadi.

Tentang getah dari korupsi (tepatnya: suap) di bidang pengawasan muatan, Anda ingat di Pantura Jawa Tengah pernah ada jembatan ambrol saat macet karena jembatan yang sudah lelah itu menahan truk yang berlebih muatan. Sebuah mobil nontruk, berikut penumpangnya, yang terjebak kemacetan di atas jembatan itu jadi korban.

Karena yang saya bahas adalah jalan tol, maka persoalannya saya batasi di Jasa Marga dan para operator jalan tol. Intinya: jangan biarkan truk melintas pada jam sibuk. Bagusnya sih truk harus berjalan setidaknya pada kecepatan minimal, di lajur kiri, dan… pada pukul 23.00 sampai 03.00 untuk jalan tol dalam kota. :D

Kalau tidak, maka setiap jam sibuk, jalan tol dari Cawang sampai Polda akan macet karena harus mengalah kepada truk-truk “yang tidak mau cepat” saat menanjak di Pancoran dan Mampang. Boleh juga ditambah truk malas lainnya yang seperti bekicot perlahan beringsut di jalan layang Tomang menuju Merak. Itu pun belum ditambah as patah di tanjakan jalan layang, atau muatan tumpah. Muatannya itu dari botol minuman sampai pipa baja.

Tentu Jasa Marga dan kalangan usaha tak setuju usulan saya karena dua alasan utama. Pertama: jalan tol memang dibangun untuk memperlancar ekonomi, termasuk mobilitas kendaraan pengangkut besar. Kedua: jam jalan yang terbatas sama saja tambahan biaya, karena menyangkut jam lembur gudang, jadwal bongkar muat, jadwal produksi, dan lainnya.

Akan tetapi membiarkan truk berjalan lambat itu saya andaikan menghasilkan pemborosan yang lebih besar karena kemacetan. Ya BBM, ya oli, ya obat stres, ya perawatan kewarasan. Soal hitungan, serahkanlah ke ahlinya — asal bukan Jasa Marga dan kalangan industri.

Tak usah ditengok dari helikopter, cukup dari arah berlawanan proses perlambanan itu tampak. Jalur dari arah berlawanan yang lancar bisa tiba-tiba merambat, bahkan macet, karena ada truk pelan atau mogok.

Memang sih, selain truk penyebab lalu lintas pelan adalah volume pelintas dan… mobil nontruk yang berjalan santai di lajur kanan dan tengah sehingga menutupi arus di belakanganya.

Ukuran lambat di jalan tol itu sederhana. Kalau mobil Anda berada di lajur paling kanan dan lebih dari sekali disalip dari kiri, berarti Anda kurang cepat. Sengaja saya tak bicara angka kecepatan karena pasti menimbulkan debat. :D Pokoknya lajur kanan untuk mendahului, bukan didahului. :P

Anehnya, patroli jalan tol (tepatnya polisi yang diperbantukan ke Jasa Marga) jarang menertibkan mobil “kurang cepat” di lajur tengah dan kanan. Mereka, kalau mampu dan mau, lebih tertarik mengejar mobil yang terbang. Padahal terbang dan merambat itu sama-sama salah — oh ya, saya tak bicara risiko kecepatan di atas 100 km/jam yang diperbolehkan.

Sedangkan penertiban untuk mobil yang mencuri bahu jalan (lajur darurat), baik cepat atau melesat, saya amat sangat setuju. Begitu pula untuk mobil pemerkosa marka jalan. Harus ditindak. Menyalip dari kiri, itu juga salah — tetapi sering dilakukan atas nama keterpaksaan.

Dengan kekusutan dan ketidakjelasan seperti itulah, Badan Pengatur Jalan Tol akan menaikkan tarif. Aneh. Apalagi kalau alasannya hanya pada rumusan yang secara formal memang “benar”: jalan tol adalah jalan yang harus dilalui dengan membayar, tak ada urusannya dengan bebas hambatan. Tapi spirit pembuatan jalan tol, selain soal berbayar, adalah kelancaran. Begitu bukan, Tuan?

Semoga jawaban Tuan bukanlah, “Bukan!”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *