↻ Lama baca 2 menit ↬

PELATIHAN SOPIR DISERAHKAN KEPADA PENUMPANG.

Kenapa Anda naik taksi? Supaya diantar sampai tujuan, tak perlu berganti angkutan, lebih lekas tiba. Intinya: nyaman dan (semoga) aman. Yang terjadi, Anda tahu, bisa juga sebaliknya. Masing-masing dari Anda tampaknya punya pengalaman buruk dengan taksi, bahkan dari taksi ternama sekalipun.

Satu hal yang menjadi pengandaian bahkan keyakinan Anda adalah bahwa sopir taksi tahu tujuan Anda. Tak perlu titik lokasinya persis, tetapi setidaknya sopir paham jalan dan kawasan yang Anda tuju.

Nah, di kota ajaib nan mengesalkan seperti Jakarta, yang jalan searah dan putaran U-nya bisa menggenjot argometer, penentu tujuan (kalau ini pasti!) dan rute adalah penumpang, bukan sopirnya. Penumpang membayar dan memandu — sambil melatih kesabaran supaya tensi tidak melonjak.

Jika penumpang dan sopir sama-sama asing dengan Bentara Budaya di Palmerah Selatan, dan jarang melintasi Kompas Gramedia dari arah Permata Hijau ke Pejompongan, bisa dipastikan taksi akan nyasar ke Pasar Palmerah dan Palmerah Barat bahkan Palmerah Utara. Karena sama-sama Palmerah.

Abaikan saja paragraf barusan jika Anda kurang paham maksud saya. Bentara Budaya dan Kompas memang terkenal, tapi tidak semua orang tahu tempatnya. Bayangkan tempat tak terkenal seperti Jalan Langsat di Kramat Pela, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Jika ancar-ancarnya adalah Gandaria, selamat tersesat.

Mau yang lebih mengacaukan orientasi? Jika sopir taksinya, dan penumpangnya, tak dapat membedakan Plaza  Blok M, Blok M Mall dan Blok M Square, maka selamat memmutari Blok M sampai Blok A dan Blok D di Kebayoran Baru, bahkan mungkin sampai Blok S.

Lagi-lagi abaikan paragraf barusan, karena memang tak jelas dan pasti membingungkan. Tapi kalau Anda menyukai kebingungan, inilah tambahannya: jangan masuk ke Jalan Senopati dari arah SCBD kalau Anda tak yakin titik yang Anda tuju, supaya Anda tak memutar jauh. Jika yang membaca posting ini adalah sopir taksi maka mestinya paham. Mestinya sih…

Jakarta terlalu luas. Jakarta juga memberi kesempatan kepada pemberani, termasuk pendatang baru yang jadi sopir taksi. Tinggal persoalannya si sopir mau mengaku atau sok tahu.

Dua pekan lalu saya naik taksi yang sopirnya baru narik tiga hari. Dia baru sebulan di Jakarta. Sebagai sopir baru dia tidak dibekali radio. Bagusnya, waktu saya menutup pintu dia mengaku terus terang. Maka jadilah saya pemandu: ini yang namanya Senayan City, yang itu Plaza Senayan, dan inilah tujuan saya, Ratu Plaza.

Dulu sekali, sudah lama, saya mendapatkan taksi yang sopirnya baru seminggu di Jakarta. Dia belum tahu mana Monas, Jalan Thamrin, Jalan Sudirman, Senayan, TVRI. Jadilah saya pemandu secara terpaksa, kesal sekaligus kagum karena setiap kali saya menjelaskan si Abang langsung menukas seperti ini, “Ah, jadi ini rupanya yang disébut Sénayan… Jauh sékali, Bos!” (Bayangkan logatnya — bunyi “é” seperti pada kafe dan tempe).

Sudahlah, akan terlalu panjang kalau disebut — apalagi jika saya menambahkan alamat Komunitas Salihara, di Jakarta Selatan — bisa-bisa menghabiskan kesempatan Anda untuk berbagi.

Saya hanya mau bilang bahwa satu hal yang memperparah ketersesatan adalah ponsel. Kalau begitu masuk taksi Anda asyik ber-SMS atau baca e-mail, padahal sopirnya buta peta tapi sok yakin, ya selamat tersesat.

Pada suatu pagi buta nan gelap, saya harus ke bandara naik penerbangan pertama. Begitu masuk taksi saya langsung membalas SMS penting yang dari tadi saya tunda.

Saya meleng. Hasilnya: sopir taksi memilih pintu tol yang salah, sampai saya tersadar bahwa saya menuju Bekasi. Sopir taksinya sih yakin, “Ini bener, Pak. Kita ke Soekarno-Hatta kan?” Padahal saya naik taksi dari pool dekat rumah, sehingga si sopir mestinya hapal jalan di lingkungan sana.

Kesalahan utama perusahaan taksi dalam merekrut sopir baru tampaknya tidak ada tes pengenalan peta Jabodetabek. Perusahaan taksi menitipkan pelajaran itu kepada para penumpang. Padahal penumpang naik taksi karena berharap sopirnya khatam peta Ibu Kota.

Salah satu guru dalam masyarakat metropolitan sialan ini berwujud penumpang taksi yang mengajari sopir. Apapun profesi utama si penumpang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *