…ASALKAN LEBIH MEMBUKA PARTISIPASI DAN SIAP DIPRETELI
Pekan lalu Nukman Luthfie menorehkan status di Facebook-nya, “Anakku, 14 thn, nyaris tak pernah baca koran tapi internetan kenceng terutama utk FB, twitter dan tugas sekolah. Demikian pula teman-temannya. Jangan-jangan memang begitulah behavior remaja kita mengkonsumsi media saat ini. Mereka meninggalkan media tradisional.”
Kebetulan belakangan ini saya dan beberapa teman sebaya (hahaha!) rasan-rasan soal itu, dengan mencocokkan pengalaman masing-masing. Kesimpulan sementara ya seperti Nukman bilang. Koran kertas memang kurang menarik bagi (sebagian) Generasi Net.
Di pinggiran Ibu Kota, seorang ayah berlangganan empat koran, salah satunya berbahasa Inggris. Dari kedua anaknya, hanya yang sulung (16 tahun) yang masih membaca koran. Itu pun kalau sempat, karena dia berangkat sekolah pagi buta, pulang menjelang petang. Adiknya (12 tahun), tak membaca koran karena belum mendapatkan alasan untuk menyukainya.
Si ayah itu lama-lama juga tak sempat baca koran. Pagi ketika koran datang, dia baru baca judul berita utama sudah harus berangkat. Demi penghematan, daripada tak dibaca, akhir bulan ini langganan koran mungkin disetop. Biarlah anak-anaknya mencari berita yang dibutuhkan dari internet, termasuk halaman e-paper koran nasional, karena mereka setiap hari online bahkan sampai ditegur karena malam sudah larut.
Romantisisme orangtua seperti saya menang menyukai rasa kertas. Tidak dibaca “mat-matan” tetapi secara sekilas, membalik halaman, sesekali mata terantuk iklan. Tak ada tautan. Meskipun tetap terasa lamban bila dibandingkan membaca web yang serba terburu-buru, koran cetak tetap memberi kesempatan ambil napas karena relatif lebih menuntut konsentrasi.
Beda generasi
Memang ada kesenjangan generasi, artinya persoalannya bukan sekadar jarak usia melainkan pengalaman dan preferensi bermedia.
Jika disederhanakan, saya adalah generasi yang terbiasa dengan berita kemarin, kalau ditambah jarang menonton TV maka genaplah saya adalah pengunyah masa lalu.
Untunglah saya masih ditolong oleh internet, sehingga yang terkini kadang masih agak terkejar. Salah saya kenapa lahir lebih awal sehingga berita terlekas yang pernah saya konsumsi adalah teleks dari kantor berita (wire services), yang kalau meleng maka lima baris update terakhir tertinggal di mesin saat tenggat. Memang obsolete, tetapi pada zamannya apa yang saya ketahui tetap lebih cepat daripada tetangga dan sopir Mikrolet.
Sebagai orang masa lalu, saya dan sebagian orang sebaya malah kikuk jika harus berbagi “lagi ngapain” dan “mau ngapain” di mikroblog dan status jejaring sosial — begitu pun dengan berbagi lokasi dalam layanan info geografis. Ada ketidaksiapan akan menipisnya privasi. Lebih aman bercerita “apa yang sudah dilakukan” karena serasa membatasi partisipasi (“Ikutan dong!” dan “Coba cicipin es krimnya!”) dan mengurangi kontrol oleh orang lain (“Kok nggak ajak-ajak, sih? Curang!”)
Generasi anak saya tak punya romantisisme majalah berita bergambar di era pra-TV swasta. Multimedia yang serbacepat, bahkan serentak, dengan dukungan layanan mobile, telah membesarkan mereka. Terlalu banyak yang masuk, terlalu banyak yang ingin dikunyah, sehingga 24 jam sehari ingin direvisi menjadi satu setengah kalinya — misalkan Semesta mengizinkannya.
Generasi Net ini (kelahiran 1977-1997) memiliki media sendiri yang bernama media sosial. Di situ, berita dari koran online atau media produk industrial lainnya dipreteli dan dibagikan. Hanya yang menarik yang akan dibaca, kemudian dibagikan lagi dan ditafsir.
Ya, sama seperti mereka memperlakukan musik: ambil MP3 yang cocok, yang enak, kalau perlu cuma penggalan overtur, sedangkan konsep album dan biografi musisi bisa dipelajari di internet, tanpa mendengarkan keseluruhan album.
Maka kemasan CD dengan artworks, berikut lirik dan kreditasi grafis dan foto (plus endorsement produsen instrumen musik), hanya cocok untuk Generasi Baby Boom (1946-1964) dan Generasi X (1965-67) yang mengalami piringan hitam dan kaset. Di situlah pemilikan secara physical (vinyil dan CD) menjadi nikmat, padahal itu masih kalah dibanding jumlah lagu di hard disk dan iPod anak-anaknya.
Masa depan koran
Masih relevankah koran cetak? Di tempat tertentu masih, baik karena kebiasaan baca yang tinggi (tidak perlu-perlu amat, tapi kadung tradisi!), maupun karena keterbatasan akses internet.
Waktu terus bergerak cepat, media cetak tanpa versi online yang lebih kaya tak lebih daripada majalah premium berbanyak gambar yang dibaca sambil ngopi dan halo-halo. Celakanya koran bukanlah majalah premium tebal.
Hanya itu? Media produk industrial memiliki kelebihan yang belum terkejar oleh penerbitan personal bernama jurnalisme warga. Jurnalis bisa menyajikan lebih lengkap dengan merujuk ke banyak sumber, dan punya dukungan tim riset serta dokumentasi. Tetapi jika penyajiannya telat, ya sama saja cuma menjadi arsip terbaru.
Gampangannya begini. Ada pesawat tercebur ke sungai, fotonya lebih cepat menyebar karena jasa Twitter melalui iPhone. Secara jurnalistik memang masih sumir, karena belum jelas berapa penumpangnya, siapa pilotnya, dan seterusnya, tapi nyatanya itulah informasi pertama, bahkan menyebar dan dikonsumsi dan disebarkan lagi.
Di situlah media umum mendapatkan umpan untuk dikembangkan dan harus disajikan secara cepat. Live report menjadi keharusan, apalagi bagi TV. Hasilnya ya akan dipreteli dan dibagikan oleh khalayak.
Jika bicara umpan, bom Kuningan beberapa tahun lalu (bukan yang kemarin) bisa menjadi contoh. Ada foto pengisi headline koran yang tak jelas siapa sumbernya selain dari internet. Fotografer Arbain Rambey pernah membuat telaah tentang ini, dimuat di majalah Snap! (almarhum).
Maka tantangan bagi koran dan portal berita selain kecepatannya adalah kalayakannya untuk dipreteli dan disebarkan. Sama seperti musisi dan label merelakan lagunya dipreteli jadi hook untuk RBT — toh nyatanya lebih menguntungkan.
Jurnalisme yang berupa produk kelembagaan takkan mati, hanya kanal distribusinya yang berbeda. Ketika semua orang bisa menghasilkan “berita”, masih saja orang butuh rujukan dari wakil mereka yang bernama media lama (melalui reporter dan editor), tetapi semoga saja para tuan pewarta sadar bahwa peta otoritas sudah sangat berbeda dari zaman teleks. Mereka bukan lagi rahib di biara ketika Gutenberg belum menemukan mesin cetak untuk Alkitab.
Bagi Generasi Net alias screenagers itu, peran peer group masih kuat. Kalau mayoritas teman, dan tren di internet, bilang bahwa sebuah berita bagus dan layak, maka mereka akan membacanya. Di luar itu hanya bikin capek. Posting teman-temannya dari gadget, saat menonton Java Rockin’ Land nanti misalnya, sudah merupakan berita. Ada impresi personal kawannya di sana.
Generasi tua membaca liputan konser sebagai barang kedaluwarsa, itu pun sambil ngedumel karena menganggap jurnalisnya sok tahu, tapi toh dibaca juga. Sungguh generasi keras kepala: punya pilihan tapi enggan berubah. Dan mereka itulah sisa pembaca setia koran cetak, masih mau membelinya.
Saya belum menengok peta usia dari pendukung Cause di Facebook, “Don’t Let Newspaper Die” (gambarnya: Save a Journalist, Buy a Newspaper!). Seorang kawan mengingatkan, kita selalu melompat. Ketika reading habit belum kuat, masuklah TV. Ketika kebisaan baca koran belum mendarahdaging, datanglah internet. Masa sih?
*) Duh panjang banget postingnya, khas blogger tua! :D Maaf dan terima kasih Anda buang waktu. Telanjur saya tulis sih. Saya malas untuk membuang dua pertiga tulisan. :)