Peta Kota dan Ketersesatan

▒ Lama baca 2 menit

DAN UJUNG-UJUNGNYA ADALAH KONTEN INDONESIA.

Wanita kurang menguasai peta? Oh, rasanya sih nggak. Toh saya juga kurang paham peta. Memang, seorang Simbok Venus mengaku bingung soal peta. Dia pernah saya buatkan denah dari kertas bekas. Bukan karena saya pintar tetapi karena rute yang dia butuhkan saya lalui saban hari. Yang dia tidak tahu, belum lama saya familiar dengan wilayah yang saya gambarkan.

Jakarta ini terlalu luas bagi saya dan orang lainnya. Hanya Jakarta? Tidak. Di Yogya pun saya pernah kehilangan orientasi karena kurang familiar dengan jalan lingkar selatan. Kalau seseorang kehilangan orientasi maka semuanya jadi kacau.

Ya, baiklah ada yang namanya GPS. Tetapi percayalah itu bukan berarti hebat. Kita mengikuti tuntunan, dan tiba di tujuan dengan si Slamet, tetapi belum tentu mengenal jalan. Tanpa panduan kita tidak bisa mengulang rute dari arah sebaliknya.

Meskipun begitu percayalah, setiap orang butuh peta, baik berupa kertas maupun paparan digital. Itulah sebabnya warga Ciledug bernama Kurniawan, dalam setengah hari kerja (di luar shift kerjanya di sebuah kantor) bisa menjual 25-an peta @ Rp 5.000 di Mayestik, Jakarta Selatan. Demikianlah pengakuannya kepada saya kemarin siang.

Setiap orang butuh peta, setidaknya pada saat tertentu. Dulu di sebuah kantor, buku peta Jabodetabek Gunther Holtorf sering hilang. Ada yang butuh tetapi malas membeli.

Saya pun pernah kehilangan, sehingga salah satu edisi peta Holtorf adalah barang yang tidak dijual, karena berisi tanda tangan sejumlah pegawai Penerbit Djambatan, sebagai kenang-kenangan untuk kepentingan internal. Sudah lusuh tetapi saya beli juga dengan harga baru di pameran buku di Istora Senayan. Manajernya tak tega karena saya memohon-mohon.

Peta Holtorf memang andal. Kartografinya dikerjakan secara profesional di Slovenia. Maka ketika beberapa tahun lalu terbit peta yang mirip, Holtorf bisa membuktikan bahwa sebagian peta baru itu membajak karya timnya karena ada kesamaan penanda rahasia.

Bikin peta bukanlah urusan gampang. Buktinya pemda di Jabodetabek tak membuat peta sebagus Holtorf yang orang Jerman. Malah peta pedesaan di Jawa sekitar Perang Dunia II itu bikinan Angkatan Darat Amerika Serikat dan menjadi rujukan pembuatan peta berikutnya. Pihak yang masih menyimpan, selain Direktorat Topografi Angkatan Darat dan Bakosurtanal, adalah PUSPICS UGM.

Saya belum tahu, adakah peta lanjutan tentang Indonesia yang sekomplet karya tim I Made Sandy tahun 80-an. Setahu saya buku peta ini tak dijual di toko buku. Dulu peminatnya harus membeli, antara lain, di Fakultas MIPA Universitas Indonesia — dan mungkin Fakultas Geografi UGM.

Begitu tak hiraunya kita akan pemetaan, sehingga seorang geografer bercerita kepada saya bahwa cara kerja birokrat itu aneh. Orang pemda dan Badan Pertanahan Nasional, misalnya, lebih percaya data di atas kertas, bahkan untuk lingkungannya sendiri. Lahan di depan sebuah kantor pemda diyakini sebagai sawah, padahal dengan mata telanjang tampak sebagai permukiman. Bisa dibayangkan seberapa andal data tentang tata guna lahan kalau pemetaan tak diurusi. Jangan bayangkan belang bontengnya data kehutanan.

Peta adalah upaya manusia mengenal tempatnya berpijak. Maka kita lihat, peta-peta awal bentuknya aneh. Pembuatnya belum menggunakan mata burung karena pesawat terbang dan satelit belum ada.

Sesederhana apapun tingkat pembuatannya, peta dan pemetaan adalah bagian dari proses berebut kekuasaan atas ruang. Sejarah pemetaan, dan cerita perteliksandian di dalamnya, adalah buktinya — ingat roman sejarah Jepang oleh Eiji Yoshikawa? Bahkan gereja dulu pun berkepentingan atas peta karena menyangkut hegemoni atas informasi dan “kebenaran”. Gereja tak hanya menyimpan perkamen Kitab Suci.

Begitulah, peta sebuah tempat adalah hasil revisi demi revisi melalui pengamatan lapangan dan pengolahan data. Untuk peta Jabodetabek, misalnya, Holtorf membangunnya dari peta situs proyek para pengembang perumahan, dan mengeceknya ke lapangan. Jika menyangkut keseriusan, saya salut kepada National Geographic Society yang punya departemen kartografi.

Membandingkan peta adalah melihat sebuah sejarah, sebuah pertumbuhan, dan perubahan lainnya. Hanya melihat, karena informasi pendukung harus dicari sendiri. Simbok, Suprie, Biho, dan Andrias Ekoyuono mungkin bisa bercerita kenapa di lintas Cibubur-Cileungsi ada nama jalan Trace Yogie. Untuk Pondokgede, saya agak tahu riwayat topinimisnya, tetapi saya tak tahu perkembangan batas “Ujungaspal” itu di mana saja titiknya.

Padahal itu semua bukan sejarah yang sudah lama berlalu. Maka saya bayangkan muatan lokal pelajaran sekolah mestinya memberikan informasi itu, sehingga orang Yogya bisa tahu kenapa ada Selokan Mataram.

Mungkin kelak komunitas blogger lokal bisa mulai membangun wadah info berbasis Wiki untuk wilayahnya. Cah Andong bercerita tentang perubahan sebelum dan sesudah ada jalan lingkar luar Yogyakarta. Bloggor punya cerita kenapa ada jalan bernama Kapten Muslihat di Bogor. Dan Batam Blogger Community punya cerita perubahan ruang bernama pertumbuhan ruko dan reklamasi pantai yang mengenyahkan hutan bakau.

Blog dan menjadi blogger (atau narablog) bukan tren sesaat. Jika diseriusi dengan riang ceria, mereka itulah yang (mestinya kelak) membangun konten Indonesia yang layak rujuk. Konten yang dibangun dengan kecintaan, seperti Wikipedia. Bagi saya sih PR Pesta Blogger dari waktu ke waktu memang bukan sekadar kopdar akbar nasional tetapi membangun konten Indonesia. Mari kita dukung.

Tinggalkan Balasan