↻ Lama baca 2 menit ↬

TERNYATA TAK SEBANYAK WAJAH KAUKASOID…

Biasa, kalau butuh ilustrasi wajah yang “asiatic“, wanita pula, cara yang relatif aman ya ambil bintang hiburan Asia, bila perlu JAV. Kenapa aman? Pemilik hak ciptanya kayaknya nggak terlalu rewel, kecuali dipakai untuk urusan komersial yang berlebihan.

Kok relatif aman? Biarpun si model tak bugil, tetapi fotonya untuk ilustrasi dalam presentasi bagi kalangan tertentu bisa mengundang tawa. Nama si bintang tak dihapal, tetapi ingatan pemirsa terhadap wajah tertentu melebihi ingatan tentang versi peramban (browser) yang dipakainya sehari-hari.

Untuk aktris tertentu, biarpun wajah sudah dikrop tinggal sepertiga tetap saja langsung dikenali oleh “11 dari 10” pria pengguna internet. Bahkan para penggemar tak hanya hapal wajahnya. Bagian lain tubuh si aktris pun sudah dihapal. Akibat penghayatan yang luar biasa.

Bukankah ada stok foto berbayar bahkan gratis? Ya. Tetapi sebagian besar, setahu saya, berisi wajah bule. Wajah Asia juga ada, tetapi stok Melayu tidak banyak amat. Coba Anda cari foto orang kantoran berwajah Melayu, atau foto anak-anak kampung Jawa sedang bermain gerobak.

Ngembat dari Flickr dan situs klub fotografi? Waduh, ini sama saja merampok terang-terangan. Apalagi dari Facebook dan blog. Bisa-bisa urusannya HAKI.

Maka lihatlah. Saking kepepetnya, bagian iklan koran dan majalah terpaksa memasang wajah bule untuk ilustrasi advertorial dan sejenisnya. Padahal foto-foto itu diperoleh dengan membeli atau dari Stock Exchange. Halaman Klasika koran sekelas Kompas pun sering pasang gambar impor untuk ilustrasi…

Lho, bukannya di setiap media itu ada fotografer? Mereka orang redaksi, bukan awak bagian bisnis. Kalaupun bagian bisnis punya stok gambar, ya terbatas. Itu pun, jika menyangkut stok kegiatan kantor, ada yang memanfaatkan lingkungan sendiri, sehingga orang dan interiornya ya itu-itu melulu.

Perkecualian tentu ada. Untuk majalah yang sadar kualitas gambar, dan memang kreatif, lagi pula sadar hukum, semuanya dibuat sendiri. Tak ada foto yang didapat dengan main embat. Untuk koran yang terbit harian, atau newsletter dengan awak dan anggaran terbatas, kadang cari gampangnya saja… Lalu muncullah kredit foto “istimewa”.

Di mana persoalannya? Fotografi digital berkembang pesat. Pemilikan alat kian meluas. Tetapi stok foto gratisan beresolusi tinggi tentang Indonesia ternyata tak banyak. Maka seperti halnya blog, ketika media cetak dan presentasi (termasuk dummy majalah) membahas gosip kantoran maka gambarnya dari kantor Amerika. Ketika membahas ibu dan anak di Jakarta, fotonya berwajah Eropa.

Selain foto, cari pula clipart yang rada mengindonesia. Kayaknya kok jarang. Padahal saya lihat ada saja media cetak yang selalu membuat ilustrasi vektor. Jika mereka tak keberatan berbagi, tinggal selangkah gambar-gambar kedaluwarsa itu dikonversi sebagai clipart.

Huh, gratis? Enak aja. Bikinnya capek, orang lain nyomot buat nyari duit. Hmmm… bisa diatur sih, untuk keperluan apa saja. Misalnya dengan Creative Commons dan sebagainya. Memang, jika menyangkut model, baik pro maupun amatir, ada soal lain lagi, setidaknya model release. Tetapi itu urusan si fotografer dan publisher begitulah. ;)

Kalau saja ada situs stok foto dan clipart Indonesia yang komplet, foto gowok dan sawo lebih mudah didapatkan ketimbang foto plum dan persik. Foto lotek lebih mudah didapat daripada pizza. Clipart orang Jawa berbaju batik bisa didapatkan semudah foto orang bule pakai setelan jas.

Adakah yang mau memulai? Wahai para fotografer dan ilustrator… marilah berbagi. Kita bangun konten visual Indonesia.

© Foto Komukai Minako dan Methinee Kingpayome: tidak diketahui.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *