↻ Lama baca 2 menit ↬

KITA MENYELEKSI, TANPA PERNAH MENANYA DIRI SENDIRI.

Awal 90-an, jika Anda berfotoria di dalam mal akan dianggap kurang lumrah. Bersama keluarga berfoto di depan taman berpancur Plaza Indonesia (bukan Bunderan HI), Anda akan dikira sok turis — atau memang orang dari luar kota.

Bukan sedang merayakan ulang tahun lalu berfotoria di kedai siap saji, pakai kemera SLR pula, akan diperhatikan. Jika masih di mal, lalu sekeluar dari kedai Anda berfotoria lagi, satpamwan akan menghampiri, menanyakan ini dan itu.

Saat itu, sehari-hari membawa kamera (saku) berfilm adalah kemewahan. Mewah bagi si pelaku maupun orang lain. Apalagi jika seusai memotret si pelaku menunggu setidaknya sehari demi beberapa lembar contact prints. Cara pencetakan macam ini pun aneh bagi sebagian orang. Sama anehnya dengan orang mencetak slides.

Sangat tepat jika Anda menduga arah tulisan ini akan sampai ke fotografi digital yang lebih murah dan gampang, lalu membuat perbandingan.

Maka baiklah saya langsung melompat. Di Facebook, pemuatan foto-foto lama era film adalah hasil perjuangan, karena foto lama tinggal sedikit — apalagi jika bersama orang yang hari ini bukan pasangan Anda. Merepro seadanya pun perjuangan (butuh niat), apalagi merepro secara digital, misalnya dengan pemindai (termasuk menitipkan ke labo foto digital).

Foto lama yang direpro pun sebagian besar pose beramai-ramai. Jarang foto sendirian dalam pose “gak penting”. Semakin jarang lagi foto jempol kaki, handel pintu kamar, dan kloset. Itulah bukti bahwa fotografi berfilm memang mahal.

Sekarang, dengan ponsel pun jadi. Dan langsung diunggah ke Flickr, Facebook, dan blog. Bila perlu orang memotret dirinya sendiri. Dan tentu, orang memotret apa saja, termasuk body parts-nya sendiri.

Yang terjadi adalah hambur gambar. Yang penting jepret, hajar. Sepanjang kartu memori masih muat ya jepret terus. Sudah biasa sekarang orang berfoto di trotoar dan jembatan penyeberangan. Orang sekitar pun tak peduli — kecuali untuk sesi khusus pemotretan model cantik, berbusana seksi pula.

Seorang kawan, sutradara dan fotografer, bilang, “Bagusnya pake film tuh kita betul-betul selektif milih obyek dan momen, soalnya harus inget serol cuma isi tiga (puluh) enam (bidikan).”

Hambur gambar. Yang tak terpakai pun tak sempat dihapus, langsung terangkut ke hard disk. Hampir sulit sekarang ini mencari komputer personal yang tak menyimpan foto-foto — selain lagu dan video.

Hambur gambar. Banyak yang tersimpan, dan semua anotasi hanya mengandalkan ingatan tentang apa, kapan, dan di mana. Meskipun komputer menyediakan aplikasi pengarsipan, saya yakin sebagian dari pengguna (kecuali fotografer) tak memerlukannya. Saya pun tidak.

Terlalu banyak jepretan, merasa sedikit waktu untuk mencatat, dan sangat percaya kepada ingatan — tapi kalau lupa ya cuek saja, toh tak semua hal layak jadi sejarah. Itulah kita.

Saya tak tahu, dari segi jumlah (bukan volume atau total ukuran file), dalam sehari ada berapa juta gambar yang dihasilkan. Misalkan sepersepuluhnya disimpan (dan dipamerkan) di internet, berapa banyakkah pelihat yang ingat dengan cermat?

Foto-foto bukan lagi hal yang berjarak, bukan lagi gambar yang hanya ada di kalender dan koran atau majalah, bahkan bilbor, yang nota bene hasil karya orang lain. Foto-foto sekarang ini adalah kita. Kamera saku dan ponsel penjepret adalah kita.

Maka kini satpamwan mal pun tak sesenewen dulu. Bahkan pramusaji dan manajer beberapa kedai sekarang lebih ramah terhadap kamera tamu karena jepretannya bisa menjadi sarana promo gratis di blog dan jejaring sosial.

Flickr, menurut saya, kurang leluasa untuk berkomunikasi — karena desain awalnya memang galeri. Sementara foto-foto kita pada Facebook menjadi sarana komunikasi. Foto-foto menjadi alasan kita untuk menulis ringkas, sambil membiarkan (atau berharap) orang-orang lain akan mendirikan bangunan teks berupa kumpulan komentar. Bahwa bangunan itu sesuai bayangan, apa boleh buat.

Kita kembali ke masa manusia belum mengenal aksara. Pesan kita sampaikan secara lisan (termasuk dongeng dan lagu) serta gambar. Bedanya, penggunaan gambar sekarang lebih masif. Dan itu terus meningkat.

Kita bisa mengaku bahwa kita akan semakin selektif melihat gambar karena sehari tetap 24 jam. Tetapi, rasa-rasanya, kita jarang bertanya kepada diri sendiri bagaimana cara kita menyeleksi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *