↻ Lama baca 2 menit ↬

KEREWELAN KUPING: BAWAAN, LATIHAN, GENGSI…

Tautan tentang percobaan audio yang ditaruh oleh seorang ibu di Facebook itu kemarin saya teruskan kepada seorang kawan. Dia yang paham banget soal audio (sering mengetes dan mengulas), dan kebetulan juga seorang pemusik  yang tentu paham sound, menanggapi begini, “Ini geng penggemar suara neh Om, bukan penggemar musik :p THX anyway.”

Saya membalas pemain bas yang gemar jazz dan progrock dengan teks tawa. Tanggapan susulan pun datang, “Faktanya begitu Om, para audiophile ini mah sistemnya aja yang ratusan juta, tapi koleksi CD/vinyl-nya mah paling banter 7 biji :p.”

Seberapa dia benar, saya tak tahu. Saya bukan audiophile, nggak ngerti soal hi-fi, dan nggak paham sampai ke urusan elektronikanya seperti Gus Tomo, blogger penikmat musik yang doyan bermain tabung itu.

Di sini saya hanya ingin tahu seberapa sih sebetulnya batas kerewelan kuping manusia terhadap reproduksi suara melalui media rekam dan penyuaranya?

Dulu banget, sudah lama, di majalahnya Tjandra Gozali ada iklan yang memuji pembacanya jika kuping mereka sepeka (bukan pekak) monyet. Kabarnya monyet sanggup menerima rentang frekuensi yang lebih luas daripada manusia.

Saya juga ingin tahu apakah kerewelan itu bawaan ataukah karena dilatih. Demo audio kelas hi-end di ruang kecil hotel, selain menunjukkan daya beli, saya andaikan juga menunjukkan tingkat kerewelan penggemarnya. Dalam bahasa yang gagah: pilihan audio menunjukkan cita rasa.

Mungkin pengandaian saya ngawur. Pernah seorang kawan minta tahu cari turntable dan amplifier bertabung yang untuk menyetelnya harus dihangatkan dulu. Tentu saja saya tak tahu. Itu asing bagi saya.

Setahu saya selama ini dia hanya penggemar musik biasa, dengan pemutar kelas kompo yang juga biasa, mirip yang dijual di Carrefour. Apakah setelah berpindah kerja ke tempat baru, sebuah bank BUMN, dia berubah?

“Lho, ini dunia wong lanang, Mas! Bos-bosku pada main audio, punya ruang sendiri. Mereknya aneh-aneh, nggak pernah terdengar. Kayaknya kok keren gitu, Mas. Aku pingin nyicil belajar mulai sekarang… Golf, aku sudah belajar. Otomotif juga, malahan garasiku dari dulu kayak bengkel. Tapi kalo yang ini (audio) belum, Mas,” katanya.

Jika esensi musik adalah bunyi, kadang saya memperlakukan suara sekitar — termasuk percakapan orang — sebagai musik. Itulah sebabnya saya jarang pakai headphone, itu pun dari pemutar cemen.

© Foto The Goldmund Reference II: entah | Daftar pemutar pelat mahal lihat sini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *