Libur kok Lama Banget, sih?!

▒ Lama baca 2 menit

HARPITNAS? BISA DAMBAAN, BISA SIKSAAN.

Harpitnas sekarang ini bisa menghasilkan iklan kreatif nan sopan: tidak mengajak orang membolos melainkan cuti, sehingga akhir pekan ini Anda mendapatkan prei empat hari.

Libur Anda akan menjadi lima hari kalau Seninnya Anda (mengaku) sakit, dan menjadi enam hari jika Selasanya Anda memfaksimilekan surat dokter (saudara ipar). Maaf, dalam kasus ini foto surat dokter yang dikirim via e-mail atau MMS belum diakui oleh HRD.

Cukup? Akan sampai tujuh hari jika pada hari Rabu, menurut dokter (tetangga sebelah), Anda masih harus beristirahat karena kelelahan yang luar biasa.

Bagaimana kalau sampai Jumat? Gampang, asalkan dokter (jiwa) melarang Anda bertemu sejawat, terutama bos, karena mereka semua adalah alergen yang bikin Anda gatal dan cegukan tiada henti. Bahwa orang sekantor akan memantau aktivitas riang ceria Anda selama sakit di blog, Plurk, Twitter, dan Facebook, itu lain soal…

Sudahlah, tak perlu berpanjang-panjang. Pokoknya libur itu menyenangkan, apalagi kalau punya duit.

Meskipun begitu ada juga orang yang gelisah jika liburnya terlalu lama. Serasa banyak kesempatan terbuang.

Celakanya sejawat dan mitra kerjanya pun begitu. Jika tak ingat keluarga, bisa-bisa mereka menyewa business center untuk bekerja. Terpaksa begitu karena jika masuk kantor pada saat libur panjang, itu akan merampas kebahagiaan Mas Opisboi yang merangkap penjaga malam dan pemondok (gratis) di kantor.

Sesungguhnya mereka bukan workaholics. Buktinya pada hari kerja pun mereka sebisanya mencari waktu untuk boling, biliar, atau secara terpisah pergi ke toko buku dan toko CD, atau ke galeri seni rupa, atau ke gym — tanpa Aa.

Mereka menjadi tak sabaran ketika libur karena mereka bukan pegawai. Mereka sekelompok orang yang sedang merintis usaha. Kalau mau digampangkan: mereka adalah sekumpulan pegawai yang juga founders. Yang wagu, masing-masing merasa dirinya bos — terutama yang pernah menjadi bos (kecil) di tempat lain sebagai orang bayaran.

Hmmm… barangkali mereka terlalu bernafsu tetapi tak paham manajemen waktu. Bisa juga soal manajemen waktu bukan kendala, hanya saja mereka kadung termanjakan oleh perasaan “nggak ngikut orang”.

Mereka adalah pendiri, pemilik, tetapi juga manajer, dan sekaligus pelaksana langsung karena mereka belum mampu merekrut awak tambahan.

Akibatnya konsultan bisnis yang piawai pun hanya bisa maklum sekaligus garuk-garuk kepala. Apalagi jika si konsultan tahu bahwa beberapa di antara orang-orang itu bisa mendadak ogah kerja, hanya ingin membaca komik, atau tidur bangku taman, dan mematikan ponsel maupun BlackBerry-nya — bahkan bisa lebih dari sehari. Meskipun begitu ada hari-hari ketika semua perangkat komunikasi mereka menyala non-stop. Bahkan kenorakan pun terjadi: laptop dan desktop sama-sama menyala, padajal si pemilik hanya memesrai salah satu. Sungguh boros energi.

Dunia kerja memang rumit. Ada yang bergaji bagus sebagai pegawai bahkan eksekutif malah hengkang. Lantas mereka melakukan sesuatu yang pendapatannya lebih kecil, tak teratur pula, namun membuat hati nyaman — kecuali ketika bokek sudah berubah menjadi defisit.

Jadi, apa sih yang dicari manusia? Lantas apakah yang disebut sebagai etos kerja?

Kalau menganggur jadi bingung (padahal ada yang mengongkosi). Kalau bekerja dan digaji malah merasa tertekan sehingga harpitnas selalu menjadi dambaan.

Samadya. Proporsional. Dua kata normatif nan sakti itu kadang membutuhkan tolok ukur dalam penerapan dan penilaiannya.

Tinggalkan Balasan