MUNGKIN PARA PENGHUNI MERASA TAK PERLU DIPERTENTANGKAN.
Karena dia berbaju merah, maka menjelang magrib tadi dia masih terlihat oleh mata saya. Dia masuk ke selokan. Membungkuk. Tangannya masuk ke kolong tutup bambu. Keranjang (atau bakul?) ceper anyaman bambu berwarna hitam di tepi selokan segera menyadarkan saya bahwa dia penjual ikan hias.
Ucup namanya. Sekitar 40 usianya. Lelaki asal Sukabumi itu setiap sore memindahkan ikan koi dagangannya ke jala terapung yang tergantung pada atap bambu penutup bak kontrol selokan.
Esok paginya dia akan mengambil ikan dagangannya untuk dimasukkan ke keranjang, lalu dipikul menuju lapaknya, sesudut trotoar di Mayestik, Jakarta Selatan.
Baiklah, kita tak usah bicara tentang rujukan baku pecinta koi sejati. Ikan-ikan koi kecil anakan (“cebongan”, istilah Ucup) dihargai Rp 1.500 per ekor. Yang agak besar, sepanjang hampir sejengkal, dia hargai Rp 10.000 per ekor. Saban malam, atau saban ditinggal mudik Ucup ke Sukabumi untuk menengok istri dan empat anak, ikan-ikan itu hidup dalam jaring yang terendam air kotor selokan.
Menurut Ucup, menyimpan di situ aman. Tak ada yang mencuri — lagi pula tak semua orang tahu tempat menyembunyikan koi itu, kecuali penjaga taman di dekat situ.
Selokan itu ternaungi kerimbunan pohon taman milik DKI. Setelah menaruh koinya, Ucup bisa pulang, menghabiskan malam di bagian paling teduh dari bekas kedai Lembur Kuring di Jalan Ahmad Dahlan yang bangunan bambunya sudah compang-camping. Rumah kedai itu sekitar 500 meter dari selokan.
Beginilah ruang hidup bersama yang bernama kota. Selalu ada ceruk sebagai sebuah set sosial yang unik. Jika menyangkut kelas bawah, ceruknya mengenal ekonomi sendiri, dari binatu murah yang dicuci di sungai kotor sampai pelacur murah yang tak lebih dari kere dandan.
Ceruk yang melingkungi koi murah(an) itu memberi peluang hidup kepada hammock berbahan spanduk di sebuah sudut rimbun, memberi rasa aman perpanjangan napas dagangan meski hanya berupa selokan, dan memberi kubangan untuk berenang dan berendam anak-anak.
Setiap ceruk ingin merasakan berkah kota; tentu sebatas jangkauan masing-masing. Maka setelah ngobrol dengan Ucup, untuk kesekian kalinya dalam rentang sejam saya bersua Jagger — tanpa nama depan Mick. Dia juga satwa piaraan seperti koi. Jagger jauh lebih besar, yang dalam imajinasi komikal bisa memakan koi. Dia memang pit bull muda yang gagah.
Setidaknya dalam sehari Jagger butuh empat kilometer berjalan-jalan agar tubuhnya sehat. Itu kata pemiliknya, seorang pemuda Jalan Lamandau, sekitar 500 meter dari selokan, yang besar kemungkinan atap rumahnya terfoto (dan tertandai) dalam citra satelit di Google Maps.
Jagger berkali-kali melewati selokan itu. Begitu pula entah siapa namanya, seekor golden retriever yang saban sore juga diajak berjalan-jalan di sana.
Jagger dan si golden retriever ada dalam sketsa perencana kota, setidaknya dalam benak, bahkan menjadi semacam standar dalam penataan ruang terbuka. Ada orang berjalan-jalan, bersama anjing terawat yang tak buas, dengan pengandaian pemiliknya akan menyingkirkan kotoran si guguk…
Adapun koi Ucup sangat mungkin berada di luar benak para penata kota. Padahal bagi Ucup, koi bukan (hanya) kesenangan melainkan nafkah — “Ini hari nggak ada yang laku, namanya juga dagang,” katanya.
Selokan penginapan koi tak pernah dirancang dan tak bakal diketahui oleh para penata kota sebagai sebuah ruang kecil kehidupan.
Jika soal seperti itu masuk hitungan, itu sama saja mempersilakan drafter menggambar kehidupan sebuah keluarga di kolong jembatan, yang tertuang dalam sketsa di luar penugasan. Sungguh tidak ideal. Pun tidak manusiawi. Dan tak membanggakan bagi orang yang merasa beradab.
Apapun perbedaan itu, kota adalah ruang berkah bagi penghuninya; baik penghuni tanpa KTP maupun penghuni ber-KTP ganda dan berpaspor ganda.