↻ Lama baca 2 menit ↬

MAKA MARILAH KITA MENJADI DUKUN!

Pemilik rumah di Jakarta Barat itu mencurigai kawan saya dan sejawatnya. Dia khawatir duo pengontrak rumah itu akan membuka praktik perdukunan. Kok bisa? Si sejawat kawan itu memakai aneka aksesoris. Sudah begitu koleksi benda etnis, termasuk patung-pating totem, yang didapatnya dari keliling Nusantara, memang banyak.

Peristiwa itu terjadi belasan tahun silam. Si pemakai aksesoris yang sosoknya seperti beruang besar itu kemudian meninggal dalam sebuah ekspedisi di luar negeri, dalam pelukan beku es. Dia bukan dukun. Dia seorang jurnalis dan pengelana.

Begitulah, barang-barang aneh, bagi orang tertentu, kadung dihubungkan dengan dukun. Rupanya memang banyak dukun, yang kata orang, senang memamerkan benda yang tak lumrah supaya pamornya meningkat di mata pasien.

Jika menyangkut benda “aneh”, dalam arti tak dimiliki oleh banyak orang, ternyata juga terjadi di dunia yang tak ada hubungannya dengan mistik dan kebatinan. Mau contoh?

Barusan dalam diskusi maya, kawan saya mengaku bahwa selama ini dia memakai Nokia Communicator dan BlackBerry supaya (calon) klien terkesan.

Teman saya yang lain, seorang juragan, membekali anggota stafnya dengan MacBook. Komputer di meja kerja pun sebagian besar Mac. “Buat gengsi di depan clients aja. Biar keren,” dia mengaku. Dia sendiri masih memakai apa yang menurutnya, “Komputer jangkrik lawas.”

Dulu banget, sudah lama, saya harus menemani sejumlah kawan menonton presentasi showreel pesanan. Ketika si pembuat video membuka MacBook Pro-nya, teman-teman yakin bahwa dia memang memang bonafide (oh ya, entah kenapa dilafalkan sebagai “bonafit”). Tetapi ketika diputar, tampaklah bahwa video itu tak sesuai pesanan sehingga pengerjaannya harus diulang.

Meskipun begitu orang bilang itulah adab pergaulan dan bisnis. Apa yang kita pakai mencerminkan kita. Pernah saya ditegur beberapa kawan, lebih dari sekali, karena datang ke sebuah pertemuan di resto naik ojek. “Merusak image,” kata seorang penegur.

Saya ngeyel, menunjukkan bukti bahwa kawan saya yang lain, seorang konsultan investasi yang berklienkan sebagian dari 100 pembayar pajak terbesar, kadang naik ojek untuk memburu waktu.

“Oh beda,” kata teman saya. “Kalo kamu sudah sukses boleh berlagak sok kere. Kalau belum, jangan gitulah.”

Teman lain menimpali, “Kamu ganti itu arlojimu yang murahan, baret-baret lagi. Sudah plastik, talinya nggak dikancingin. Kalo belum sukses jangan sok nyentrik.”

Lho, padahal saya bukannya mau eksentrik. Saya jelaskan bahwa tali jam saya masih bagus, tapi dua pengikatnya putus, dan tidak ada yang jual. Kalau mau rapi saya harus ganti tali arloji yang asli, yang harganya menurut saya tidak rasional.

“Ya ganti saja jam tanganmu sekalian,” yang lain menyarankan. Baiklah, nanti saja kalau sudah sukses. Celakanya saya nggak tahu apa ukuran sukses. Tetapi kalau dibelikan arloji, saya tak menolak.

“Kang, jalan menuju sukses itu tampil pede dan bikin orang lain terkesan. Cara supaya pede ya pakai barang yang layak,” kata yang lainnya lagi.

Uh, jangan-jangan baju dan celana yang saya beli di Pasar Mayestik, Jakarta Selatan, itu tak layak untuk meraih sukses. Celaka benar.

© IlustrasI: entah

7 thoughts on “Sukses Dulu, Baru Bergaya Kere

  1. Sebelum pensiun 2019, krn masih ketemu banyak orang, agar merasa keren saya tiap hari harus pakai jeans levi’s dan kaus oblong (kadang polo) levi’s juga (meski kalau beli nunggu diskon 50 persen dulu😬)

    Setelah pensiun, dan kemudian mulai pandemi covid 19, tiap hari sy pakai kaus polos beli seratus rebu dpt tiga, kadang kaus kawe pink floyd atau genesis atau kaus tril tua.

    jeans nya tetap levi’s, kadang wrangler, krn hanya jeans dua merek itu yg sy punya (dan belum pernah beli jeans lagi setelah pensiun😁)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *