Kenapa (Harus) Malu kalo Gagal?

▒ Lama baca 2 menit

ORANG NYURI AJA NDAK MALU KOK!

Sepuluh tahun yang lalu Pak Nitra dan teman-temannya bikin sesuatu. Dengan menggebu. Optimisme pol. Produknya keren. Mendahului zaman. Ternyata dalam tiga bulan tanpa hasil dan tanpa prospek. Pasar tak mau menerima — tapi sekarang sudah ada yang melakukan. Investasi Rp 4 miliar (nilai waktu itu) pun menguap. Kalau diteruskan bakal bikin jebol semua sumber daya.

Gagal? Ya. Malu? “Oh, ndak Pak! Saya dan teman-teman ndak punya rasa malu,” kata Pak Nitra mengenang kejadian itu.

“Saya sendiri, karena berkahing Gusti, ndak pernah punya rasa malu. Lha wong maling, yang jelas-jelas maling saja ndak malu, kenapa saya harus malu?” lanjutnya.

Kalimat itu hampir menjadi ujaran sakti Pak Nitra. Para koruptor itu ndak pernah malu, bahkan bangga dengan pencapaiannya, begitu pun ketika diadili dan dipenjara, jadi kenapa yang kerja halal (tetapi gagal) harus malu.

Baginya, yang penting bekerja sebaik-baiknya, dengan hasil sebaik-baiknya — setidaknya menuriut keyakinan dia dan timnya. Bahwa produk tak laku, karena alasan apa pun, baginya itu soal lain.

“Kalo kita sudah kerja dengan bener, kenapa mesti malu?” katanya.

Berani gagal, berani salah, itu juga bagian dari jalan hidup Pak Nitra (bukan Pitra). Maka setap kali dia mendelegasikan tugas dia selalu meniupkan keberanian kepada yang mitra kerjanya.

Saya teringat sebuah perusahaan yang dulu banget sering diledek sebagai haven dan sekaligus heaven. Sebagian orang-orangnya mengeluh “pintar goblok penghasilan sama” dan “rajin malas (penghasilan akan) sama”. Sungguh sebuah zona kenyamanan yang tinggi. Orang jobless pun tetap punya bonus dan tunjangan, serta fasilitas lain.

Tak gampang memecat orang di sana — kecuali mencuri dan melakukan kesalahan fatal. Bila perlu orang akan bertahan hingga pensiun. Bahkan juragan besarnya, meskipun meledek kaum pemalas tak produktif sebagai “numpang hidup”, memberi pemakluman, “Kalau bukan kita, siapa yang mempekerjakan orang-orang marginal itu.” Maklumlah, dia memang humane.

Nah, yang terjadi dalam lingkungan macam itu justru keanehan. Rasa aman bukannya mendorong orang berani bertindak salah secara manajerial melainkan justru takut mengambil risiko. Padahal kalau gagal atau jeblok nggak bakalan dipecat lho…

“Tapi malu kalo gagal. Nggak enak gitulah. Lagian napa juga sok berani ngambil risiko, bos-bos kita aja maunya aman,” kata seorang manajer.

Untunglah kondisi itu diperbaiki secara bertahap — kalau revolusioner jelas bakal mengguncang tata. Orang-orang mulai dibiasakan mengambil risiko, dan ada ganjaran lebih jika keberhasilan melampaui sasaran. Meskipun begitu saya mendengar keluhan bahwa pendekatan baru itu bikin stres.

Ah, saya teringat seorang wali kota, yang berlatar belakang bisnis. Begitu mengawali jabatannya dia langsung dihadapkan pada membengkaknya jumlah pegawai pemkot — padahal yang dibutuhkan hanya 20 persen. Begitu banyaknya pegawai, dan ada saja yang tak punya pekerjaan, sehingga sempat ada merajang sayuran untuk rumah di kantor, dan itu dipergoki oleh wali kota.

Celakanya saban tahun pemkot harus menerima ratusan pegawai baru sesuai arahan “pusat”. Tetapi bagi pegawainya, lingkungan kerja macam itu adalah surga karena nyaman. Produktivitas dan pencapaian kerja yang tinggi? Itu sih tuntutan orang luar, terutama rakyat pembayar pajak.

Wajar jika para pegawai itu malu seandainya sampai tak punya status bekerja. Tetapi setelah bekerja mereka tak malu jika tidak menghasilkan apa-apa. “Lha kami kan bukan orang swasta,” begitu jawaban yang pernah saya dengar dari mulut orang luar.

Ukuran “ke-malu-an” dalam bekerja ternyata berbeda-beda. :)

Tinggalkan Balasan