↻ Lama baca 2 menit ↬

KADANG TAK JELAS. HANYA MENURUTI KELAZIMAN (DAN KEZALIMAN). :d

Seorang ibu muda bercerita bahwa mbakyunya setiap kali memperpanjang KTP selalu memajukan tahun kelahiran. “Dia curang, nggak mau kelihatan tua! Hihihihi…” kata si adik. “Emang orangnya gitu. Ih, dasar flirty dari dulu,” ungkapnya, disusul tawa terbahak.

Lain lagi seorang kangmas dan adik lelakinya. Ketika si adik berulang tahun, si kangmas meng-SMS, “Selamat bertambah tua!”

Si adik tangkas membalas, “Saktuwa2né aku isih tetep luwih tuwa kowé! :D” (bahasa`Jawa: Setua-tuanya aku masih tetap lebih tua kamu! :D).

Begitulah. Ada keengganan orang untuk menjadi tua, ketahuan tua, atau tampak tua, begtu pula dituakan dalam pengertian pejoratif. Ibaratnya ulang tahun disyukuri tetapi pertambahan usia diemohi.

Di dalam pergaulan, tua adalah sasaran empuk untuk olok-olok. Saya pun ketika muda melakukannya.

Tua identik dengan ketidakberdayaan, kelambanan, ketinggalan zaman, dan seterusnya. Maka mereka yang dalam sebuah lingkungan berposisi lebih muda akan merasa lebih jaya — padahal di lingkungan lain dia menjadi golongan tua, meskipun hanya beda dua tahun.

Akan tetapi apakah hanya itu? Tak pernah jelas alasan sebagian orang kenapa menyembunyikan usia sehingga akhirnya soal umur menjadi bagian dari etiket — kadang berlaku untuk wawancara jurnalistik, sehingga repoter harus mencari data sekunder.

Yang berlaku kini usia adalah urusan yang sangat pribadi, hanya pertanyaan dokter yang akan langsung ditanggapi — apalagi jika selain usia juga ditanyakan status marital. Seakan-akan, bagi sebagian orang (wanita?), tua tetapi tak menikah itu memalukan, dan urusannya amat sangat pribadi.

Saya ingat soal usia ketika tadi oleh sistem diminta mengedit profil akun saya pada sebuah layanan online — suatu hal yang tak saya tengok ketika mendaftar dua bulan lalu. Ada pilihan untuk menyembunyikan tahun kelahiran.

Oh ya, usia saya tahun ini 48. Dan saya selalu tampak lebih tua (dan memelas, sekaligus mengesalkan) daripada usia sebenarnya. Itu bukan prestasi, juga bukan aib. Biasa saja. Tak perlu saya sembunyikan usia saya. Juga tak perlu berlagak muda — seingat saya sih.

Jadi kenapa (sebagian dari Anda) malu mengakui usia? Tentu jawabannya bukan pengelak sok kreatif semacam, “Ngapain juga angkanya dibuka, toh nggak bawa maslahat.” :P

Bukan pula jawaban kepepet karena bingung: “Pokoknya tua itu malu-maluin, nggak oke. Nggak penting apa alasannya.” Uh, jurus pokoknya… Nyerah, deh.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *