SUPERHERO PEMBERANTAS KORUPSI, PENGGEBAH KORUPTOR MANIS NAKAL.
Kalau Google tak dapat mengendus Rofili si Pahlawan Antikorupsi, itu tersebab oleh dua hal. Pertama: mesin Google bodoh. Kedua: kumpeni Google “sentimen” kepada Rofili.
Sebagai pahlawan, seperti halnya Superman dan Spider-Man, Rofili pastilah milik semua orang yang berkehendak baik. Apapun afiliasi kepartaiannya, semua orang butuh pahlawan, baik pahlawan pembela kebenaran maupun pembela kebetulan. Dan selayaknya pahlawan, pastilah dia dikenal luas karena tindakannya. Punya reputasi dan track record, kata orang sekolahan.
Lho, bukankah ada pahlawan tak dikenal dan pahlawan tanpa tanda jasa?
Memang sih. Mereka tak dikenal karena tak ada yang memperkenalkan. Mereka tak mendapatkan tanda jasa karena tak ada yang mengusulkan maupun mengadakan.
Ehm… lantas bagaimana dengan pahlawan yang memperkenalkan diri?
Karena ini ada hubungannya dengan kampanye calon legislator eh calon (anggota) legislatif, maka pangkal soal ada pada tim sukses ketika mengemas paket komunikasi.
Siapa itu tim sukses Rofili maupun caleg lain, oh saya tak tahu. Saya hanya bisa mengandaikan bahwa yang namanya tim itu lebih dari seorang. Jadi, boleh saja sebuah tim sukses terdiri atas/dari si caleg dan seorang tetangga tukang tempel poster. Dua orang cukup menjadi dynamic duo. Kalau timnya berisi tiga orang, yang satu adalah tukang ajak pengantar pemasang poster, jadilah sachet berisi paket kopi-susu-gula.
Pemilu dengan 30-an partai, yang melibatkan hampir 12.000 calon, tetapi masing-masing kandidat diadu dalam tarung bebas (suara terbanyak, bukan urutan nomor yang dapat kursi), itu bagus tetapi pada awalnya menggelembungkan kebingungan. Maka lahirlah pesan-pesan kampanye yang nyeleneh, wagu, nyentrik, bahkan kagak nyambung.
Ada bau sistem distrik di sana karena pemilihannya berbasis wilayah dengan perolehan suara individual. Jika kandidat mengangkat isu lokal maka boleh jadi pesan partai tak terangkut (atau tak dipedulikan pemilih). Di sisi lain, kandidat yang mengincar kursi DPR-RI, mungkin saja sejak awal tak jelas apakah mereka itu mewakili daerah atau partai. Jawaban paling aman: ya mewakili partai atas nama daerah tertentu.
Maka tak mengherankan jika banyak calon memasang foto ketua partai, atau sesepuh partai, atau tokoh nasional yang menginspirasi partai. Cukup foto tokoh panutan, karena gambar lebih kaya daripada kata-kata.
Tak kenal maka tak sayang. Itu keyakinan kandidat maupun calon pemilih. Maka jurus para kandidat, seperi kata Bambang Iput Putranto, adalah menyodorkan nama, nomor urut, dan nama partai.
Dari kampanye yang kadung menghadir sebagai pesta visual (entah totalnya berapa ratus kilometer persegi gabungan stiker, poster, spanduk, dan baliho), pesan apa yang Anda tangkap dari setiap partai?
Setelah partai, pesan apakah yang Anda tangkap dari masing-masing kandidat, baik untuk DPRD maupun DPR-RI?
Jika Anda bingung berarti Anda jujur. Selain itu, berarti Anda normal. Bukankah demokrasi (kadang) juga berarti membingungkan?
Marilah kita tempuh proses demokratisasi ini dengan berdebar dan kalau bisa penuh kegembiraan. Setidaknya kita bersyukur bahwa bahasa Indonesia telah diperkaya dengan satu lema: contreng.
Salam demokrasi.