↻ Lama baca 3 menit ↬

MARILAH BICARA, DAN LIBATKANLAH WARGA.

“Murah. Meriah. Merakyat. Gayeng. Blontank ikut bergabung. Menjelang bubaran, Kanjeng Sultan dan kawulanya memunguti sampah yang dihasilkan selama cangkrukan, yang kemudian ditampung ke dalam tas kresek.”

Itu catatan saya pada Agustus 2007 setelah ikut nongkrong bareng komunitas Bunderan Hotel Indonesia (BHI) di trotoar depan Plaza Indonesia (PI), Jakarta Pusat.

Hari-hari lain ketika saya ke sana, misalnya saat ulang tahun Pak Bupati penyanyi tenor dan saat menyusul Wicak dan Enda sekalian menyambut pemuda asal Sala bernama Zamroni yang datang dari Yogya, ritual memunguti sampah itu masih ada. Selayaknya rumah (pinjaman) maka kebersihan harus dijaga.

Kemudian kemarin terkabar bahwa manajemen PI kurang sreg terhadap terhadap orang-orang yang nangkring di tikungan depan kafe itu. Satpamwan menghalau mereka, termasuk kawula BHI. Manajer piket, pada suatu malam pekan lalu, menurut laporan beberapa kawan juga tak memberikan tanggapan yang memuaskan.

Dulu, pada sebuah kunjungan, saya mendengar bahwa seperempat jam sebelumnya polisi pamong praja menghalau dan mencokok orang-orang nongkrong (dari kelas bawah?). Untunglah Sultan, eh, Presiden BHI, yang kadang merebahkan badan di dekat tanaman, tak terangkut.

 

Ruang siapakah yang dipakai nongkrong itu: PI atau Pemprov DKI? Saya belum menanyai manajemen PI. Juga belum melihat denah (emang paham?).

Saya berasumsi ada sejumlah perkara yang sebetulnya dapat dikomunikasikan oleh pemprov, PI, dan warga tanpa terjebak ke persolan kontrer kaya-miskin, kapitalis-buruh, borjuis-proletar, dan sebangsanya.

Taruh kata pojokan luar itu adalah properti PI (yang telah membangun dan merawat), ada baiknya sebagai ruang terbuka itu dapat dimanfaatkan oleh warga melalui persyaratan yang disepakati bersama.

Misalkan pojokan itu wilayah Pemprov, juga sama asasnya. Aturan pakainya bersifat partisipatif. Sejumlah payung, misalnya perda, bisa dipakai untuk mengatur kebersihan dan ketertiban. Juga, tentu, tak ada pihak boleh memiliki privilese untuk memonopoli ruang terbuka itu.

Kota adalah ruang huni bersama yang tak hanya memuliakan hak-hak individu dalam ruang pribadinya tetapi menghormati juga hak-hak individu dalam ruang publik agar tak saling merugikan.

Maka nun di sebuah negeri yang tak mengharamkan alkohol (kecuali bagi anak bawah umur), ketika seseorang minum bir di rumah sendiri itu boleh sekali; tetapi begitu dia melangkah meninggalkan pagar halaman rumahnya maka dia telah melanggar hukum. Simpel kan?

Ya, simpel. Mana yang ranah privat, mana yang ranah publik, dirumuskan dengan jelas. Tentu itu dihasilkan melalui proses politik warga, dengan kesepakatan melalui dewan kota.

Bagaimana dengan pojokan luar PI, yang salah satu misinya adalah “membantu peningkatan kualitas hidup masyarakat dan kemajuan sosial ekonomi negara”?

Ya sudah, anggap saja itu milik PI. Tapi sebagai produk arsitektural yang dirancang terbuka, agar dapat dinikmati oleh khalayak, maka keterawatan dan pemanfaatan pojokan yang dipakai BHI itu harus melibatkan khalayak. Hanya dengan merasa memiliki maka orang bisa diajak bertanggung jawab.

Bagian luar mal dan gedung perkantoran adalah wilayah perantara jalan raya dan ruang beratap, adalah peralihan dari publik ke privat (atau gabungan kepentingan privat). Bangunan dan lahan hingga batas terluar memang sepenuhnya hak milik si empunya properti, tapi pemanfaatannya punya aspek sosial — kecuali zona penting seperti kedutaan dan kantor presiden. Itulah sebabnya Pemprov DKI sempat bersemangat mengatur kawasan bisnis supaya semuanya tak berpagar.

Lho bukannya kita tak rela jika pagar rumah kita dipakai buat nongkrong, kemudian tukang bakso ikut mangkal, lantas caleg semprul memasang potret cengengesan di tembok?

Ya, tentu. Tapi itu kan hunian keluarga, bukan bangunan besar multifungsi. Tentu kita, sebagai penghuni, juga berhak membolehkan tukang bakso dan ojek mangkal di depan rumah asal tetangga samping dan depan tak keberatan — dan tak melanggar perda.

Orang Jakarta sudah kehilangan pelataran eks-Wisma Anggana Danamon yang tak berpagar (sebelum dibeli perusahaan keluarga Sampoerna). Itulah tempat yang ketika pagi sebelum jam kantor warga sekitar bisa berjemur diri. Lantas sore hari orang kantoran penunggu bus bisa mencoba menikmati pelataran, duduk, menoleh ke sekitar, mendongak ke atas, agar tak kehilangan orientasi. ;)

Memang terkabar ada copet dan penodong, juga terlihat ada pengasong di sana. Penjahat, itu tanggung jawab polisi. Pengasong dan pembuang bungkus permen (apalagi yang bebal padahal sudah ada tempat sampah), itu urusan polisi pamong praja.

Warga lain, sebagai pemanfaat ruang publik, hanya membantu petugas agar ruang bersama tetap menyenangkan bagi setiap orang yang berkehendak baik.

Tulisan lain:
+ Ndoro Kangkung: Trotoar Pecas Ndahe

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *