↻ Lama baca 2 menit ↬

ORANG YOGYA LAMA TAK KENAL IKAN?

Nasi gudeg ikan ayam di stasiun Lempuyangan Yogyakarta

Sudah biasa. Bahkan sudah jadi dagelan garing bahwa orang Jawa menyebut daging itu “iwak”, lalu mengindonesiakannya menjadi “ikan”, dan jadilah “ikan ayam”.

Juga garing ketika orang kehabisan lauk, hanya ada nasi dan kecap, ibu jari sendiri pun digigit sebagai “iwak jempol”.

Ingatan itu muncul kemarin pagi di Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta, ketika saya akan naik sepur ke Sala. Nasi gudeg dengan “ikan ayam” dijajakan di sana. Itu berbeda dari ikan ayam (-ayaman) di Muara Baru, Jakarta.

Padahal orang Jawa itu mengenal “daging sapi”, “daging kebo”, dan “daging wedhus”. Tetapi dalam percakapan keseharian, menyebut “daging” saja berarti daging sapi.

Mungkin itu tadi supaya ringkas karena bahasa Jawa, dan Indonesia, tak kenal pembedaan daging seperti beef, lamb, dan pork. Yah inilah bahasa, yang diyakini oleh banyak orang sebagai “pokoknya yang diajak omong ngerti”. Jika ada kabar “harga daging naik” maka yang dimaksud adalah daging sapi.

Nah… kembali ke gudeg dan ikan ayam, saya ingat cerita lama tentang generasi lawas di Yogya. Sebagian dari mereka, para sepuh asli itu, kurang akrab dengan “iwak laut” (ikan laut).

Perubahan terjadi ketika perguruan tinggi bermunculan mulai 70-an, mahasiswa pendatang terus bertambah, dan warung makan kian beragam sajiannya. Ikan, dan juga kerang dan cumi, mulai tersajikan di warung-warung (antara lain warung padang dan kedai kaki lima). Generasi mudanya, yakni para putra-putri dan cucu, mulai mengenal hidangan (dari) laut.

Artinya iwak itu bukan hanya iwak banyu (air tawar) maupun daging, tetapi juga ikan laut. Setidaknya menurut tafsiran saya. :D

Perubahan yang kian cepat terjadi ketika akhir 80-an sampai awal 90-an pantai selatan Yogya mengenal kenelayanan. Sebuah perubahan sosial yang menurut saya ajaib: petani yang sekian generasi menganggap Laut Selatan tak laik layar akhirnya berani mengarungi laut, atas didikan nelayan Cilacap. Kemudian Yogya mengenal ikan, pasar ikan, kudapan berikan di pantainya Nyai Roro Kidul.

Saya tak tahu sudah ada berapa skripsi mahasiswa humaniora Yogya yang membahas proses perubahan dari petani ke nelayan itu.

Sekarang seorang anak muda Yogya usia belasan bisa mendoyani hidangan laut, sementara simbah kakung putrinya kurang suka bahkan kurang paham. Tentu tak semua keluarga Yogya. Hanya beberapa kok. :D

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *