JUSTRU MEWAH KARENA DARI RUMAH.
Coba ingat, kapankah terakhir kali Anda mendapatkan (maupun memberikan) buah yang dipetik dari pohon pemilik. Tadi? Kemarin? Tahun lalu? Sepuluh tahun silam? Atau jangan-jangan Anda lupa. Bisa jadi itu malah tak penting — emangnya napa, gitu kan?
Baiklah. Mungkin memang tak penting. Tapi bagi saya penting. Kemarin siang, di Langsat, seorang awak bernama Febi membawa jambu air (Eugenia aquea), lengkap dengan tangkainya. Jambu dari kebun sendiri.
Jambu Febi agak memanjang. Kulitnya mulus mengilap. Dalamnya bersih tanpa ulat. Rasanya manis. Menyegarkan.
Itu jambu dari kebun sendiri. Eh, kebun? Tepatnya halaman depan rumahnya nun di Kebon Jeruk, Jakarta Barat sana.
Menurut Febi, dulu jambunya selalu berulat. Setelah pohon diinfus antihama, dan daunnya rontok lalu tumbuh merimbun, jambunya pun berbuah tanpa ulat. Tentu selama menunggu matang si jambu dibrongsong plastik berventilasi.
Bagi saya jambu oleh-oleh dari rumah ini menarik. Kenapa? Ini Jakarta — tepatnya: Jabodetabek. Tak semua rumah punya halaman apalagi kebun untuk pohon berbuah. Kebanyakan buah didapat dari membeli.
Tak semua rumah punya kebun. Oh jangankan kebun. Sisa ruang untuk pot saja seringkali sangat mepet. Orang-orang kota sekarang, tak hanya di Jabodetabek, terbiasa berlalu lalang dengan memelintir tubuh — baik saat bertamu maupun di rumah sendiri. Maklumlah lahan semakin mahal, tetapi tak banyak arsitek yang menyediakan klinik konsultasi murah untuk menyiasati sempitnya lahan. Bisa juga karena ini: pengembang menyediakan paket perumahan yang menyesakkan.
Maka inilah umumnya rumah orang kota. Pintu gerbang hanya dibuka sedikit. Jika carport berpenghuni roda empat, ditambah motor dan sepeda, maka bersiaplah memelintir tubuh dan berjalan dengan cara menyamping. Orang bilang memiringkan tubuh.
Lalu? Teras sempit terisi kursi dan pot. Bukan potnya yang menyita ruang melainkan mekar dedaunannya. Tentu teras juga menjadi galeri sepatu dan sandal. Kemudian ruang tamu sempit berisi sofa gemuk sehingga terasa sesak. Untuk penyampir dan penggantung jemuran silakan pilih terpaksanya di mana.
Dan inilah hasilnya: cara berjalan orang seperti mengkhianati antropometri ruang (untuk postur bule) yang merujuk Ernst Neufert. Orang tak bebas melenggang, bahkan di rumah sendiri, karena takut tangannya nyampluk.
Jangankan pohon jambu, atau belimbing, atau melinjo. Untuk beringsut saja sulit. Untuk melenggang saja banyak halangan.
Mungkin cara untuk berlega-lega adalah berjalan di lapangan, mal mahal pada hari tanpa obral, dan kemudian di mana pun tempat yang dianggap boleh berlega-lega meski harus berebut celah. Itu bisa trotoar, bisa jalan raya, termasuk jalan tol.
Berbahagialah Anda yang rumahnya berpohon buah. Berbahagialah Anda yang rumahnya bertanaman sayur. Seorang sahabat, wanita lajang, yang berumah di pinggir Jakarta kadang membawa petikan dari pohon melinjo (dan kalau tak salah juga petai) dan sayur lainnya untuk kawan-kawannya. Dari halaman sendiri.
Bukankah di supermarket, pasar becek, sampai gerobak sayur, sayur-mayur (dan buah) tersedia? Ketika mendapatkan buah tangan dari kebun sendirinya teman, bukan petikan dari desa tetapi dari kota, rasanya beda. Itu Jarang. Maka itu mewah.
Maka berdendanglah A.T. Mahmud, “kemarin paman datang / pamanku dari desa / dibawakannya rambutan pisang / dan sayur mayur segala rupa / berceritera paman tentang ternaknya / berkembang biak semua.”
Paman mengucapkan selamat bervalentina dan bervalentino — dengan maupun tanpa warna jambon. Boleh dengan salak maupun sawo kalau adanya cuma itu. Petai juga boleh — asalkan tahan aromanya. Salam dari Bibi.