Rahasia Lelaki (Ehm!)

▒ Lama baca 2 menit

SUMBER INFO? INTERNET MENGALAHKAN ARISAN. :D

“Mama lupa pesenku ya, jangan nanya mulu…” kata Mas Bogang ketika istrinya ingin tahu lebih banyak siapa wanita yang menyertai Pak Rageng di Bali itu.

“Tadi itu cewek dikenalin sebagai temen. Masa sih, Pa? Kayaknya bininya bukan itu kan?” sergah Mbak Bogangwati.

Mas Bogang menukas, “Kalo dibilang temen ya kita percaya aja, Ma. Kalo dibilang istri, juga kita percaya. Udahlah itu bukan urusan kita, Ma.”

Lain waktu Mas Bogang agak marah. Atas nama kangen dan keakraban, Mbak Bogangwati menelepon Bu Tepruk, “Waduh Mbak, gitu ya sekarang. Mborong lukisan ndak ngajak-ngajak. Aku kan juga pengin belajar lukisan.”

Bu Tepruk bingung ditelepon soal begituan. Itu bukan dunianya. Lagi pula saat itu dia sedang menghadiri acara keluarga besarnya. Sendirian, tanpa suami, karena Pak Tepruk sedang ke luar kota.

Rupanya Mbak Bogangwati mendegar suaminya tadi berhalo-halo soal lukisan dengan Pak Tepruk. Sempat terdengar, “I think she has a really good view of paintings, Mas.” Maka dengan inisiatif sendiri Mbak Bogangwati beramah taman via ponsel dengan Bu Tepruk. Gara-gara “she” itu…

Ah sudahlah. Memang kayak sitcom. Kaum suami menamakannnya rahasia lelaki — tepatnya merahasiakan dari istri masing-masing, baik tentang lelaki lain (dan teman wanitanya) maupun terlebih perihal diri sendiri. Jawaban kepepet adalah angkat bahu sambil senyum.

Rahasia lainnya? Di bidang konsumsi.

Suami beli sepeda seharga empat kali motor bebek tetapi kepada istri mengaku itu murah dan pemberian, kebetulan mereknya kurang terkenal. Suami beli audio bagus buat di kantor tetapi mengaku itu rakitan Rungkut, terbukti mereknya tidak tenar dan bentuk cuma kotak hitam bulky. Suami beli pisau bagus mengaku sebagai hadiah teman. Dan seterusnya…

Mereka, kaum suami, takut kalau ketahuan membeli barang mahal untuk memanjakan diri sendiri sebagai pengobat lelah mencari nafkah. Kenapa sampai takut, silakan Anda terka sendiri.

Tapi soal rahasia belanja itu kisah masa lalu, hanya cocok untuk pria paruh baya. Kenapa? Lingkungan mereka (tak semuanya sih) agak abai internet.

Untuk pasangan 45 tahun ke bawah misalnya, main petak umpet dalam konsumsi itu semakin sulit. Istri (dan bahkan anak) dengan cepat akan menanya Ki Ageng Gugel. Atau kalau malas melakukan sendiri, seorang istri yang kebetulan orang kantoran bisa menanya sejawat, misalnya pria yang lebih muda. Tak sampai sepuluh menit harga akan bocor. Kalau bukan selundupan tinggal menambahkan pajak.

Salahkah internet? Tidak. Media ini telah membantu setiap anggota keluarga untuk lebih saling mengenal. Tentu dengan catatan: masing-masing dengan identitas jelas seperti di Facebook.

Oh, internet untuk memantau ya? Istilah sopannya: memata-matai? Bergantung kepada orangnya. Seorang suami yang pencemburu parah bisa menginterogasi istrinya tengah malam, setelah membangunkan, karena dari blog istri dia tahu bahwa sorenya ada acara kopdar.

Bagi yang sering dicemburui, dan sering diawasi bahkan sampai ke pola konsumsi pribadi, internet bisa menjadi si keparat pengkhianat. Apalagi kalau profil mbak yang menemani dinas ke Bali dan nona yang memandu soal lukisan ada di layanan jejaring sosial. :D

© Ilustrasi: uknkown

Tinggalkan Balasan