Kota metropolitan harus ramah rakyat jelata, ada makanan dan minuman murah, syukur kalau higienis.
↻ Lama baca 2 menit ↬

MESIN MINUMAN DI TEMPAT PUBLIK? ENTAR!

penjaja keliling minuman hangat di Jakarta

Mendekati pukul delapan, pagi tadi*, saya berpayung menyusuri sebuah trotoar di Jakarta Pusat sambil membawa gelas plastik berisi teh manis (celup) hangat. Nikmat benar setiap kali menyeruputnya. Bukan mau beraneh-aneh tapi saya memang butuh. Sejak pukul enam seperempat saya berteduh dari rintik hujan di sebuah tempat, menunggu dimulainya sebuah urusan pada pukul delapan di tempat lain sejauh seratus meteran dari sana.

Tak ada kedai di tempat saya berteduh. Pagi yang dingin sekaligus lembab menghasut saya untuk mendapatkan minuman hangat. Jangankan hangat, air kemasan dalam botol pun sudah habis.

Akhirnya ketika melintasi trotoar, pukul delapan kurang itu, saya melihat seorang penjaja minuman sedang berhenti untuk melayani satpamwan sebuah gedung.

penjaja keliling minuman hangat di Jakarta

Teh manis harganya Rp 1.500. Kopi (bisa plus susu), dari sachet siap seduh, harganya Rp 2.000. Bukan hal baru. Mungkin sudah ada sepuluh tahun lebih bersamaan dengan munculnya kemasan teh dan kopi.

Seperti halnya mi instan, bahan minuman instan telah meramaikan mata rantai ekonomi. Apa yang mulanya dirancang untuk keperluan swalayan dalam kehidupan domestik konsumen akhirnya menjadi sajian warung. Disiapkan, diolah, dan disajikan oleh orang lain (penjual). Menjadi menak yang diladeni memang enak.

Di luar produk instan untuk diolah sendiri, tak adakah vending machine di kota Jakarta yang sok modern ini?

Ada di beberapa tempat, biasanya di dalam gedung. Tapi yah begitulah, pada sebuah rumah sakit di Jakarta Timur mesin swalayan minuman itu kotor. Jadi, kalau bicara risiko sakit (minimal perut), vending machine dan vending man itu sama.

Selebihnya adalah ketahanan tubuh kita, orang-orang tropis yang lahir dan dibesarkan di negeri beriklim ramah untuk beberapa sumber penyakit, sejak panu-kadas sampai disentri.

Vending machines berbayar di tempat umum bukan hanya soal alat, bahan minuman, dan listrik. Ada sejumlah prasyarat yang mau tak mau terjalin dengan aneka urusan, dari higiene (ingat penjual rujak yang setelah pipis di bawah pohon tak cuci tangan?) sampai disiplin (ingat nasib telepon umum?).

*) Maksud saya kemarin pagi. Ketika memulai posting ini dan belum disela hal lain, hari masih Senin. :D

Sajian lain: minuman dan cemilan keliling di kawasan bisnis Jakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *