Golput? Atau Pemilu Nanti Ikut?

▒ Lama baca 2 menit

DEMOKRASI MEMANG MENDEBARKAN…

Selama ini saya golput. Apakah pemilu nanti juga golput, baik untuk memilih legislator maupun presiden? Saya tidak tahu. Tapi dalam obrolan ringan, saya sering menganjurkan orang lain untuk ikut pemilu.

Alasan saya sederhana. Inilah kesempatan bagi warga untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Jika peluang tak diambil itu sama saja membuka risiko munculnya revolusi tangsi yang menghasilkan rezim otoriter, kemudian kita diperam dalam tempurung represi. Kita tak akan matang karena keburu membusuk.

They had themselves a party at the point of a gun
They were slightly to the right of Atilla the Hun
A bomb or two and very few objected

(Che [Antonio Banderas], dalam Evita [Alan Parker, Andrew Lloyd Webber, Tim Rice])

 

Sepahit itukah? Bagaimana kalau ternyata yang muncul dari tangsi adalah penguasa berbudi luhur, yang menyiapkan nampan pengaturan untuk pemimpin sipil? Lebih baik kita tidak usah melakukan eksperimen berbahaya. Risikonya berat.

Oh, bukankah sipil bukan jaminan beres, bahkan mereka pun bisa menjadi tiran atas nama cita-cita luhur dan dukungan (yang anggap saja) dari mayoritas?

Ya. Bisa saja. Kekuasaan bisa menjadi tunggangan binal yang mengasyikkan untuk dijadikan rodeo. Dengan dukungan korps bedil, makin asyiklah permainan bagi pemainnya.

Ah, lebih buruk lagi, bukankah sipil berpeluang gagal menata kehidupan bersama, sehingga hasilnya hanyalah khaos yang tidak oblong?

Tentu. Dan itu sama saja mengundang penghuni barak mengisi pemerintahan atas nama kebutuhan darurat. Yang namanya darurat itu seringkali tak kenal batas daluwarsa. Hanya jelas kapan memulainya, tapi tak perlu dibahas kapan mengakhirinya. Yah, jangka waktu adalah bui bagi kehendak untuk berkuasa secara abadi.

Ya, ya, ya. Taruh kata demokrasi bukanlah tujuan, hanyalah jalan untuk mencapai kehidupan bersama yang lebih baik, kenapa akhirnya seperti disucikan? Bukankah yang utama itu tujuan?

Mungkin berlebihan bila men-suci-kan perjalanan. Juga berlebihan dan lebih berbahaya jika tujuan menjadi sakral, karena ini berarti soal cara boleh — bahkan harus — diabaikan.

Seringkali demokrasi berupa jalan terjal, bukan lintasan panjang bebas hambatan. Lihatlah hari-hari ini. Lihatlah kinerja orang-orang partai. Lihatlah perilaku anggota DPR.

Kita boleh dan berhak kesal bahkan muak. Tapi itulah jalan yang sedang dan telah kita lalui. Kemudian aturan pemilu diperbaiki. Nomor kecil bukan jaminan berhak mewakili rakyat di parlemen. Suara terbanyaklah yang akan menentukan. Kita sama-sama berharap akan melalui jalan yang, yah…, mendingan begitulah. Memang sih mungkin mendebarkan.

Apa boleh bikin, demokrasi memang lucu. Kita memilih orang yang akan mengatur kehidupan kita. Proses itulah yang harus kita warnai.

Kadang demokrasi juga konyol karena berkemungkinan memberi hak hidup kepada kekuatan  yang antidemokrasi. Lantas ketika menang karena janji suci, atau karena sihir menyesatkan, si antidemokrasi menampakkan taringnya.

Demokrasi juga bisa berwajah dogol. Bisa saja sejak awal rakyat memang mencari diktator karena sudah lelah berpikir dan berikhtiar. Jika sudah tahu bakal dapat kucing kenapa juga masih membeli paket karungan? Yang penting bisa menangkap tikus, setidaknya tikus mainan.

Lantas, akan ikut pemilukah Anda? Jangan menanya rumput yang bergoyang karena lapangan telah menjadi gedung tinggi dan mal.

*) Maaf seperti ceramah. Bukankah sekarang musim ceramah? Sau-dara sau-da-raaa…! Dengarlah…

Tinggalkan Balasan