↻ Lama baca 2 menit ↬

SAMPAI SEBERAPA JAUH KITA BISA MENGONTROL KONTEN INTERNET?

Kemarin seorang tokoh meminta seorang blogger agar fotonya di Wikipedia diganti. Dia yakin si blogger punya akses ke salah satu anggota tim Wikipedia. Lho, Wikipedia yang Indonesia atau “pusat”? Maaf, tak dapat saya ungkapkan. Siapa dia, si tokoh itu? Kalau namanya kita cari di Google maka dalam 0,27 detik tersaji 2.290.000 temuan.

Tentang foto itu, saya terkejut dan sekaligus tertawa. Bukan mentertawai dia maupun si blogger tetapi diri sendiri.

Saya kadung berpengandaian bahwa orang setingkat dia, dan sesepuh dia (65+), yang dalam istilah anak-anak muda sudah “sangat eksis”, mestinya tak hirau foto diri. Alasan dia minta ganti karena foto yang ada kurang keren.

Dia bukan orang partai yang mau tak mau harus sadar kemasan. Dia juga bukan bintang dunia hiburan yang terlalu sadar tentang pembentukan citra melalui foto.

Lebih dari itu semua, dia adalah orang yang oleh khalayak (tak hanya Indonesia) diikuti karena curahan pikiran dan rangkaian tindakannya. Bukan karena fashion-nya. Fashion yang saya maksud adalah apa pun yang dia pakai dan bagaimana pun dia menampilkan raga adalah pernyataan diri.

Lantas apa menariknya kasus ini? Bukankah keinginan mengontrol foto itu wajar? Bukankah dalam buku, undangan, dan annual report kita ingin foto kita mewakili diri kita?

Ya, justru pada kontrol terhadap foto itu. Dulu pernah saya baca, seorang fotografer pemasok Sygma sering kesal terhadap pasfoto istrinya (model) di paspor karena itu semua tak berada dalam kuasanya.

Masalah ini menarik karena si tokoh yang menjadi bagian dari perjuangan untuk kebebasan berpendapat itu ingin mengontrol isi internet, tepatnya terhadap hal yang secara substansial tidak salah. Bukan mengoreksi info melainkan pose foto (anggap saja dia berpose) yang menurut saya wajar, tidak membawa aib. Hanya ingin tampak keren. Atau, hanya ingin kekerenannya termunculkan.

Manusiawi sih, Anda bilang. Mau tokoh, mau anak SMP di Facebook dan Friendster, maunya tampilkan foto diri yang bagus. Tepatnya: foto yang mewakili citra diri.

Nah, soal citra itu bisa dikemas sendiri, bisa juga hasil bentukan kolektif di luar kontrol. Ketika saya masih ngeblog dengan nama lain, dan foto palsu, maka citra foto babah toko sangat lekat di benak beberapa pembaca. Contoh lain? Foto Anang(ku) yang mengikon, bukan mengikan. Jas cokelat, sisiran samping, dan seterusnya…

Dengan maupun tanpa izin, halaman web bisa mengambil foto tokoh dari media lain. Foto yang pernah muncul itu bisa saja sreg bagi si tokoh, tapi bisa juga tidak. Ketika kemudian foto itu muncul di sebuah rak referensi online berbasis Wiki, yang disusun sangat serius, bisa saja si pemilik mempersoalkan hak cipta, bukan keren atau cocok tidaknya.

Tak ada hubungannya dengan ketokohan yang layak Wiki, tadi siang teman saya masygul akan satu hal: “Wah Facebook itu bisa bikin kusut juga ya, Kang. Orang-orang lain bisa masang foto kita, kamar kita…”

Maka ini persoalan kita sekarang: dalam batas apakah kita bisa mengontrol konten internet, terutama yang berhubungan dengan diri kita?

Beberapa orang mulai berhati-hati berpendapat di milis karena tak ingin opini untuk kalangan terbatas terteruskan ke kalangan yang lebih luas tanpa sensor.

Inilah era bermedia yang menggairahkan dan mungkin juga sekaligus membingungkan. Setiap orang bisa memiliki penerbitan pribadi (malah bisa lebih dari satu) dan masuk ke dalam jaringan penerbitan yang lebih luas, di bawah payung conversation and sharing.

Dalam kasus yang “cemen”, foto mesra sepasang bloggers saat kasmaran, tapi kemudian putus pacaran, bisa menimbulkan sesal. Sudah dihapus di halaman asal, eh masih nongol di tempat lain dan terendus mesin pencari.

Tak soal apakah foto itu mereka publikasikan sendiri atau disiarkan oleh orang lain. Ketika asmara masih membara, mereka cuek saja bahkan bangga bisa yayang-yayangan. Tetapi setelah itu…

*) kata “di Luar” dalam judul boleh diganti “dalam”. :D

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *