↻ Lama baca 2 menit ↬

ANAK KELAS MENENGAH TAK MENGGENDONG ADIK?

Untuk generasi saya dan di atasnya, foto macam ini lumrah. Bocah perempuan kelas enam SD menggendong bayi (adiknya). Sudah biasa pada masa lalu, terutama dalam keluarga yang jumlah anaknya empat orang ke atas, dari kalangan menengah ke bawah. Padahal ini foto baru, belum ada seminggu, tentang seorang gadis kecil (anak saya, salah satu pembaca blog ini) yang menggendong adik sepupunya yang baru berumur delapan bulan.

Dengan segala keterbatasan penyelancaran saya belum menemukan foto profil sejenis di Friendster, Facebook, blog, dan layanan lain dari anggota yang masih remaja. Kalaupun ada, biasanya foto-foto masa lalu sedang digendong mama atau tante atau kakak sepupu.

Tentu selain pasal demografis, ada juga pasal teknologis. Foto-foto mbak sedang momong adik pada masa lalu adalah barang mewah karena fotografi digital, terutama pada ponsel, belum ada. Selain soal jepretan adalah media pemuatnya. Dulu belum ada internet.

Mengapa sekarang jarang ada foto kakak momong adik?

Sebagian pasangan cuma beranak dua, dengan jarak usia paling jauh lima tahun. Memang sih ada gejala setelah reformasi 98 itu program KB, yang sebagai faset punya sisi mewakili campur tangan negara terhadap hak reproduksi, cenderung diabaikan oleh sebagian pihak.

Selain itu, dengan sedikit maupun banyak anak, umumnya keluarga memiliki pengasuh bayi. Biro pemasoknya, yang kadang ndobel sebagai agen PRT, bertebaran di mana-mana. Waktu privat bagi setiap kakak (perempuan) kian banyak, tak ada kewajiban maupun kesenangan momong adik pada kelas menengah kita.

Selain soal tadi adalah gaya hidup. Inilah zaman yang memberi kesempatan kepada siapa pun, tak hanya mereka yang urban, untuk mengekspresikan diri. Photo box dan jejalan hasil jepretan pada gadget sudah memberi bukti bahwa setiap orang adalah model terbaik, setidaknya bagi diri sendiri.

Pun terbukti bahwa banyak orang (terutama kaum hawa?) tak bergantung kepada orang lain, karena bisa membuat self portrait dalam pengertian harafiah. Bahwa kecenderungan itu menularkan keseragaman pose (mecucu, melet, mewek, memiringkan kepala, acung jari), anggaplah itu sebagai potret zaman. Setiap orang menjadi fotografer terbaik bagi diri sendiri.

Pada eksplorasi diri yang lebih jauh, dan mungkin bersua dorongan eksibisionistis, di internet banyak foto diri di depan cermin (kadang telanjang) dan bahkan close-up untuk body parts diri (termasuk yang paling privat) karena fotografi semakin membuktikan diri sebagai perluasan mata manusia. Hanya dengan kamera yang dipegangnya sendiri seseorang bisa menelaah pusarnya dan memeriksa lubang giginya, atau tompel di pinggulnya kan? Dengan fotografi berfilm, proses menjadi gambar tak hanya lama tetapi juga menambah mata dan berpeluang bocor edar lebih dini (di internet juga bocor tetapi anonimitas sebagai nobody kadang memberi rasa aman).

Teknologi digital telah membantu seseorang untuk semakin mengenali diri sendiri. Cermin yang dipasang di depan posisi duduk atau jongkok untuk pengenalan dan perawatan kewanitaan diri, seperti yang diajarkan penyuluh kesehatan reproduksi, kadang tak memadai.

Dari sebuah foto kita bisa menelaah zaman: dari KB, pola asuh keluarga, sampai eksplorasi dan ekspresi diri. Foto, sesuai riwayatnya sebagai potret, telah menyodorkan wajah sosial kita.

© Foto-foto pose mecucu dan di depan cermin: unknown

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *