YANG PENTING KEMASAN, SEMOGA BEGITU PULA ISI.
“Apa mereka mau nikah lagi? Itu pada masang gelar akademis di poster dan baliho kampanye, kayak di undangan kawinan saja. Apa tanpa gelar akan dianggap bodoh?”
Ini pertanyaan kesekian yang saya dengar. Sejak pilkada sampai pemilu calon legislator, hampir semua kandidat memasang gelar.
Lho, kalau nyatanya memang bergelar, tentu mereka berhak mencantumkan pencapaian akademisnya. Ngawur banget jika tanpa gelar malah mengada-ada, mengaku sebagai sarjana padahal durjana.
Misalkan si caleg adalah orang dari golongan tua bergelar Drs, lalu menambahkan “Drs.(Ned)”, karena gelar kedua didapat waktu “melanjutkan S2” ke Negeri Belanda (ehm, doktorandus Indonesia dianggap sarjana muda), ya silakan saja. Itu hak.
“Apa dengan memasang gelar akademis berarti cara berpikir dia selalu ilmiah?”
Ini pertanyaan mengada-ada, cenderung insinuatif.
Bagi saya ini soal pilihan. Ada orang yang mencantumkan gelar di segala kesempatan dan cuaca, di semua media (dari kartu nama sampai stiker label buku).
Ada pula orang yang ketat membatasi pencantuman gelar akademis hanya untuk kepentingan akademis. Saya pernah mencontohkan Prof. Dr. Ir. Satryo Soemantri Brodjonegero yang ketika menjadi birokrat di Depdiknas tidak mencantumkan gelar. Surat ayahanda Satryo untuk sekolah anaknya pun tak mencantumkan gelar akademis maupun jabatan sebagai menteri pendidikan. Pengganti Satryo, yakni Prof. Dr. Ir. Bambang Soehendro, M.Sc., D.E.Sc., dalam setiap dokumen Ditjen Dikti Depdiknas juga tak mencantumkan gelar.
“Ingat ndak Mas, zamannya gelar MBA dulu masih dianggap bagus? Banyak business card profesional muda yang mencantumkan gelar MBA. Tapi cuma sebentar saja cara kamso itu luntur…”
Oh, itu karena MBA mengalami inflasi. Selain makin banyak yang mendapatkannya, juga lantaran tambah banyak yang Makin Botak Aja. Kepintaran tak meningkat tapi kerontokan menghebat. (Hayo mau komentar, kan?)
“Gelar sekarang makin gampang kan ya? Universitas abal-abal cuma di ruko juga gampang meluluskan mahasiswanya, bahkan mereka berani bikin program S2. Dulu waktu gelar masih susah karena nggak semua orang bisa kuliah, gelar B.A. saja buat papan nama rumah. Ingat?”
Wah, ini sudah keterlaluan nyinyirnya. Jadi, masalah sampeyan itu apa?
“Apa gelar akademis masih membanggakan? Apakah itu jadi cerminan kecendekiaan? Apa gelar itu bisa mengesankan para konstituen?”
Ehm, tapi nggak ada yang dirugkan to? :D