↻ Lama baca 2 menit ↬

YANG PENTING… PESAN TERKIRIM!

pesan terkirim via angkot 

Dengan segala hormat, sebagian dari kita dulu tak nyaman jika menggunakan ponsel yang menunya berbahasa Indonesia — apalagi Melayu (Malaysia). Ada kekikukan bahkan kebingungan. “Sent messages” dan “sent items” lebih kita akrabi ketimbang “pesan terkirim”. Itu sepuluh yang tahun lalu.

Sekarang adopter ponsel yang belakangan nyaman saja menggunakan ponsel berbahasa Indonesia. Bang Bajaj, Mang Ojek, Mpok Sayur, Mbak Pembokat, Mas Opisboi, dan Mbah Kakung/Putri langsung melompat ke menu Indonesia dari ponsel pertamanya.

Tak ada kekikukan. Tak ada keluhan tentang istilah yang aneh atau kata yang terlalu boros huruf. Beberapa ojek dan angkot ditempeli stiker potong manual “pesan terkirim”. Malah dalam pesanlewat.com ada dua tulisan yang sama-sama ber-“pesan-terkirim” (ini dan itu).

Adakah yang aneh dengan bahasa Indonesia? Ya, jika kita kadung terbiasa dengan menu berbahasa Inggris.

Nyatanya, dengan pembiasaan diri, sebagian dari kita bisa memakai Google versi Indonesia, Yahoo! Indonesia, Firefox Indonesia, Plurk Indonesia, Facebook Indonesia, Ubuntu Indonesia, dan tentu saja WordPress Indonesia.

Semuanya butuh waktu. Alih bahasa juga butuh waktu, sehingga WordPress versi Indonesia sempat memadankan month” (bukan “mouth“) dengan “mulut”. Kolaborasi terus membukakan pintu bagi perbaikan diri, sehingga galat (ehm!) berkurang.

Bagi blogger baru yang melakukan lompatan — dari tak kenal internet langsung ngeblog — maka layanan blog dalam bahasa Indonesia (mungkin) tak begitu merepotkan. Maksud saya, kerepotan yang dia alami setara dengan pengguna baru produk digital berbahasa Inggris.

Intinya: tak kenal maka tak lancar. Sementara orang yang dimintai tolong mengatasi masalah dari pengguna menu Indonesia seringkali harus tek-tok Indonesia-Inggris-Indonesia. Anggap saja itu ongkos belajar menata bahasa sendiri. :D

Menyamankan pengguna baru, dari kalangan yang rada telat mengadopsi produk digital, itulah kelebihan menu berbahasa Indonesia.

Lantas haruskah kita memakai menu berbahasa Indonesia untuk segala produk teknologi digital?

Itu terserah kenyamanan setiap orang. Manakah yang lebih bermanfaat dan menyenangkan, itulah yang kemudian akan dipakai oleh banyak orang.

Artinya bisa saja urusannya bukan nasionalisme dan patriotisme melainkan lebih kepada nilai guna. Dari kacamata bisnis global, populasi pemanfaat dan penghasil konten berbahasa Indonesia juga bernilai. Bentuk paling sederhana sejak dulu ya munculnya iklan teks maupun spanduk berbahasa Indonesia untuk alamat IP Indonesia.

Memang muncul “keprihatinan”, kalau semua orang Indonesia mengisi konten internet dalam bahasa nasional lantas kapan bisa memperluas pergaulan mondial?

Kalangan optmistis selalu yakin satu hal. Konten yang bagus akan dialihbahasakan bila perlu secara manual. Kemudian layanan penerjemah digital bermunculan, termasuk yang online dari Google.

Bahwa hasil terjemahan online dari Indonesia ke Inggris (dan bahasa asing lain), atau sebaliknya, bisa membuat bingung bahkan geli, itu semua adalah proses. Kekayaan bahasa manusia memang terlalu rumit untuk dipindahkan ke mesin, sehingga kecerdasan buatan seolah selalu ditantang untuk mengenal rasa.

Maka dapatlah dipahami jika penginggrisan naskah Indonesia yang tata kalimatnya relatif teratur saja bisa melenceng apalagi naskah yang amburadul.

Pada awal 90-an seorang manajer lebih memilih mengirimkan beberapa anak buahnya yang Korpri itu ke kursus bahasa Inggris ketimbang ke kursus komputer. Alasannya, dengan menguasai bahasa Inggris maka mereka dapat memahami tutorial yang menempel dalam WordStar dan sebagainya.

Entahlah apa sekarang dia sudah berubah pikiran, karena aplikasi hari ini bukan hanya WordStar versi bahasa Inggris. Eh, emangnya masih ada WS4?

© Ilustrasi: pesanlewat.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *