LEBIH BANYAK MANA: CD ASLI CHINESE DEMOCRACY ATAU CD BAJAKAN DAN MP3?
Lompatan teknologi tak dapat dilawan. Maka sungguh keterlaluan kalau hari gini masih ada toko CD yang melarang pencobaan cakram lagu oleh konsumen. Satu memulai, lainnya mau tak mau harus ikut. Tanpa membolehkan cicip suara, itu sama saja mempersilakan konsumen beli kucing dalam sekeping cakram. Tapi bukan keterlaluan, apalagi buat bahan olok-olok, jika jaringan toko kaset/CD Harika di pinggiran Jakarta masih memasang pengumuman seperti ini: “CD hanya berisi lagu, tidak ada gambarnya”.
Itu sebuah edukasi untuk konsumen yang layak dihormati. Itu pula alasan saya menyebutnya sebagai lompatan. Orang tak perlu urut dari piringan hitam (vinyl) ke reel tape dan cartridge lalu kaset lantas DAT kemudian CD dan akhirnya MP3 — kecuali mereka orang mapan yang beruntung (dan mungkin kemlinthi). Kini dari pengalaman berkaset boleh langsung ke MP3. Ponsel dan digital music player Rp 200.000-an telah menjadi kanal distribusi musik yang masif. Penikmatnya tak perlu sekali pun pernah mengonsumsi CD padahal compo di kamar pondokan ada pemutar CD-nya.
Harga CD audio memang tak rasional. Sekeping CD bisa tiga kali harga MP3 player abal-abal dari RRC. Taruh kata biaya produksi film “biasa” lebih mahal daripada proyek Axl Rose Chinese Democracy (yang hasilnya adalah CD), tetap saja DVD asli (film) bisa dibanting lebih murah — terlebih kini setelah muncul BluRay yang harga per kepingnya mulai Rp 450.000.
Awal tahun ini sudah terkabar, kemasan fisik (cakram) akan ditinggalkan oleh label besar pada akhir 2008. Nyatanya kemasan fisik belum sepenuhnya ditinggalkan. Tetapi mereka mau tak mau harus realistis pada satu hal: pembajakan. Dari puluhan juta keping, hanya enam persen CD yang asli.
Secara egoistis, kalangan industri rekaman dulu pernah berkeberatan terhadap peredaran perekam CD. Pada awal 2000, mereka mamasang “software antipembajakan” di CD. Tetap saja bisa dibakar di komputer.
Sekarang? Jangankan internet. Sebuah jaringan kantor bisa berisi stok lagu yang cukup untuk mengoperasikan sebuah stasiun radio classic rock dan progrock. Sebagian besar lagu-lagu itu bukan dari Rapidshare dan sejenisnya tapi dari CD para bos yang tentu saja harganya bisa bikin minder karyawan masa percobaan yang “bergaji tiga koma…” (selewat tanggal tiga, rekeningnya sudah koma), dan bikin mengkeret penganggur kayak saya.
Pertanyaan kita adalah apakah format digital termutkahir akan tahan pembajakan?
Kita tahu jawabannya. Teknologi digital dan persebaran kepintaran akan mempermudah banyak hal. Harga lagu, taruhlah Rp 5.000 judul, kalau dikompilasi menjadi paket sepuluh lagu jatuhnya Rp 50.000. Lebih mahal dari CD Indonesia yang rata-rata boleh Rp 35.000. Jauh lebih mahal dari CD kompilasi MP3 Rp 5.000 berisi 100 lagu. Amat sangat jauh lebih mahal dibanding mengopi dari CD dan hard disk teman sekalian numpang broadband gratis.
Persoalan lainnya justru bukan di pembajakan. Rujukan dengaran kian luas, padahal lagu berjuta-juta jumlahnya, tetapi sehari tetap 24 jam — itu pun yang delapan jam untuk tidur.
Ledakan isi media menggiring kita ke langkah defensif yang manusiawi. Demi kewarasan dan mengingat daya tahan, yang berlaku kemudian adalah seleksi. Termasuk di dalamnya adalah seleksi di benak: tak semua lagu harus diingat, karena musical pitch orang normal juga ada batasnya. Anehnya, penjiplak lagu orang lain tetap akan ketahuan.