Kata Hati Saat Ekonomi Berhati-hati

▒ Lama baca 2 menit

STRES, KERJA, KELUARGA, PERCERAIAN, GILA…

Mahalkah hati? Tergantung hati apa dan siapa. Buktinya setiap menjelang Lebaran harganya di konter atau los daging itu naik. Tak ada hubungannya, belakangan ini saya dihubungi beberapa orang yang ingin menuruti hati.

Intinya soal pekerjaan. Mau pindah bahkan keluar (dan pokoknya keluar, tanpa plan). Jawaban saya bisa beragam, bergantung pada sikon. Jawaban umum, kalau masih bujangan, lakukan saja tanpa banyak menimbang.

Jawaban khusus? Maaf ini hanya mengambil sampel pria karena para pengadu dari kaum Adam.

Pertama: gedean mana gaji sampeyan dibanding istri? Kalau gedean istri, katakanlah tiga kali lipat, segera cabut. Kalau gaji istri jauh lebih kecil, dan terbukti bahwa tulang pungung dan iga keluarga ada di suami, ya cobalah menimbang ulang. Maka lain kali, setelah mengalami reinkarnasi sebagai lelaki juga, pakailah cara “pro-kesetaraan” dalam mencari istri, “Kaya nggak masalah, yang penting cantik, sexy, setia.”

Kedua: hati sampeyan ada di mana? Percuma gaji gede tapi hati tidak gembira, atau bisa riang tapi semu. Jadi kalau siap risiko, ya cabut saja.

Gampang, kan? Tidak.

Banyak istri cenderung kurang mendukung suaminya banting setir atas nama tuntutan hati, kecuali ada kejelasan perbaikan ekonomi.

Kalau diringkas, risiko silakan urus sendiri, tapi jangan korbankan keluarga. Itulah yang membuat banyak lelaki bertambah stres.

Ada kasus istri marah waktu suaminya mau keluar dari pekerjaan, “Kalo mau nurutin ati mestinya kan dulu Pa, waktu masih muda, lajang.”

Jawaban suami sungguh tulus tapi (anehnya, eh sewajarnya) bagi istri justru menyakitkan, “Mana sempat nurutin masa muda, karena setelah wisuda lalu kerja baru setahun harus married karena kamu kuno nggak berani jadi perawan tua! Sekarang kamu cuma mau tahu gaji gede tapi nggak peduli penderitaan suami.”

Psikolog Andreas Catshade mungkin bisa kasih penjelasan apakah benar bahwa (sebagian) wanita dalam batas tertentu cenderung lebih mampu menahan stres dalam pekerjaan ketimbang pria.

Atau persoalannya adalah warisan lama, tentang pembagian kerja secara seksual bahwa lelaki adalah pencari nafkah utama — dengan maupun tanpa istri yang beranak? Kemunduran dalam menafkahi berarti kegagalan.

Tak sedikit istri yang bersikap seperti ini, “Udahlah, sayang kalo kerjaan dan karier bagus dilepas. Nggak banget deh kalo kita mulai dari nol lagi gara-gara Papa nurutin ati. Kalo stres di kerjaan ya cari hiburan, asal jangan yang nakal-nakalan…”

Manajamen hati ternyata tak bisa sendiri. Implikasinya ke mana-mana. Tak semua orang sanggup memulai dari awal lagi. Seorang ayah dan suami bisa mundur tetapi istri dan anak-anak belum tentu mudah diajak menurunkan standar gaya hidup.

Maksud saya, jika penurunan kesejahteraan disebabkan musibah tak terhindarkan — bukan oleh pilihan atas nama hati — maka keluarga mau tak mau harus menjalani. Jika penurunan kualitas kehidupan itu akibat keputusan “egoistis” bin “sepihak” mungkin menimbulkan masalah.

“Justru itu yang bikin tambah stres. Di kantor stres, mikir ginian tambah stres, sebentar lagi aku gila, kerugian tambah gede kan?” keluh seseorang.

Saya bukan konselor dan memang tidak buka praktik konseling. Sekarang bayang-bayang kemuraman ekonomi sudah terasa. Tapi tanpa itu pun sudah banyak pria yang stres karena pekerjaan, dan di sisi lain tak dapat menuruti kata hati karena telah tersandera oleh keluarga (terutama anak).

Perceraian itu mahal. Tapi bagi pelakunya, tanpa perceraian jatuhnya justru lebih mahal karena kewarasan dan kebahagiaan itu tak ternilai. Beberapa kali saya baca, kusutnya ekonomi Amerika telah membuat pengacara spesialis perceraian bertambah sibuk.

Hanya karena duit berkurang? Tak sesederhana itu mestinya. Ketidaknyamanan seseorang, bisa suami, bisa istri, berkemungkinan menumbuhkan konflik bahkan kekerasan.

Termasuk di dalamnya adalah kekerasan terhadap pria oleh wanita (fisik maupun nonfisik), tapi sayang jarang lembaga advokasi untuk pria korban. :D

Iklim patriarkal, yang juga diamini sebagian wanita, menganggap lelaki yang menjadi korban kekerasan oleh wanita itu memang salahnya sendiri, paling banter cuma dikasihani (“Kesian deh, lu!” kata orang lain) dan hanya dapat simpati.

“Kalo lakinya mbalas, selain dianggap nggak jantan, juga akan jadi kasus KDRT. Itu yang bikin kita gila!” kata seseorang.

Kita? Lu kaleee, lainnya sih iya. :D

Tinggalkan Balasan