Mencari Sampul Rekaman yang Apik

▒ Lama baca 2 menit

KEBODOHAN DI ERA MUSIK DIGITAL UNDUHAN :D

teenage death star cd, 2008

Manakah yang lebih bagus untuk sampul rekaman Indonesia tahun 2008: CD Teenage Death Star (TDS) atau Dewi Lestari dalam paket RectoVesto? Mari berterima kasih kepada demokrasi karena beda kepala boleh beda pendapat. Artinya orang gondrong dan botak tak dilarang untuk seiya-sekata.

teenage death star cd, 2008

Ehm, saya sedang tergelitik oleh satu hal: adakah blog kolaboratif yang membahas sampul rekaman Indonesia?

Yang langsung terbayang layak ketiban sampur untuk urusan beginian tentu Benny Chandra van Soerabaia. Dia fotografer yang senantiasa mengikuti perkembangan musik (dan film). Kayaknya kegatalan dia layak mendapatkan penyaluran.

the sigit, 2007Benny layak berkolaborasi dengan Pur, redaktur Koran Tempo, yang mengikuti perjalanan musik Indonesia sejak dulu. Lantas mereka berdua mau menggandeng bloggers siapa lagi, marilah kita lihat.

Kesan saya — semoga salah — sebagian bloggers lebih hirau lagu, tapi kurang peduli kemasan. Wajar sih, wong urusannya berbeda. Lagu untuk didengar, sampul untuk dilihat, dan keduanya tidak harus berhubungan. Dan bukan tidak mungkin, sebagian orang lebih ingat klip video ketimbang sampul CD. Bisa juga ada bumbu opini: “Sampul boleh bagus, tapi kalau saya nggak suka lagunya ngapain juga saya nilai? Nambahin kerjaan aja.”

Jalan pengantar bukannya tak ada. Pemutar musik digital pada PC maupun Mac, bahkan pada gadget, bisa menampilkan artworks. Kekurangannya, yang muncul hanya sosok dwimatra sampul, padahal ada sampul yang tak hanya selembar gambar.

cd prisa dan laskar pelangi

Nah, di sinilah urusannya jadi menarik. Masih layakkah kita membahas sampul CD padahal makin banyak orang menikmati musik digital, bahkan label pun menjual musik sebagai unduhan ketengan atau sebagai USB flash disk?

Urusan bisa dipersempit lagi. Inilah perubahan zaman. Lagu berformat MP3 tinggal ambil atau salin sehingga urusannya semata pasal dengaran — tak beda dari mendengarkan radio. Info pendukung sudah ada di internet, dan isinya lebih komplet, pun lebih interaktif daripada kemasan CD.

Jadi buat apa membuat blog macam itu kalau bukan membahas artifak industrial? Bukankah harga CD player bikinan Eropa, yang bodoh itu (tidak bisa memutar MP3, tanpa amplifier), lebih mahal daripada iPod Touch 8GB?

cd miss kadaluwarsa, eki, 2008 -- gak ada di radio? heheheYa, ya, ya… Mungkin memang itu soalnya. Saya sendiri juga nggak begitu paham karena tak mengikuti perjalanan musik Indonesia — apalagi luar Indonesia. Intinya: sampel saya terbatas begitu juga referensi musikal maupun visual saya. Karena itulah saya butuh rujukan dari teman-teman, termasuk Bah Reggae dari Republik Semprul Sontoloyo dan blogger cendekia seperti Totot.

Maka dalam keterbatasan itu saya menganggap sampul TDS itu bagus, mewakili sosok FastForward Records (Bandung) yang tahun lalu bikin kemasan bagus untuk The S.I.G.I.T, Polyester Embassy (Tragicomedy), dan RNRM (Outbox).

Adapun CD Laskar Pelangi (Miles Music) bagi saya isinya bagus tapi sampulnya biasa, sekadar mengikuti paket pemasaran filmnya (yang juga bagus). Ini memang jebakan yang terhindarkan seperti halnya CD musik yang menjadi bagian dari pertunjukan (Miss Kadulawarsa, EKI). Kalau kemasan Prisa (Aquarius) bolehlah. Ceria remaja terwakili dalam kemasan yang maunya dark.

Tahun lalu sih kayanya banyak yang menarik. Amlop ala Efek Rumah Kaca (Pavilliun Records [2005?]) cukup kuat, tapi belum sekuat Thom Yorke. Adapun Zeke and the Popo (Space in the Headlines, Blackmores Records) itu pas, mewakili musiknya. Sedangkan Trisum (1st, Sony BMG) itu bagus.

Tahun lalu juga ada CD Keenan Nasution (Dengarkan… Apa yang telah Kau Buat?) yang beredar terbatas, dengan nomor seri segala. Box set-nya ciamik.

Artifak, artifact, ataupun artifuck (oops maaf), bagi saya kemasan rekaman itu menarik. Untuk rekaman luar, salah satu yang memikat adalah Tool (10,000 Days, Sony BMG, 2006). Kemasan CD menjadi mainan, disertai kacamata trimatra untuk meneropong halaman artworks dalam buklet.

NB: blog berikutnya yang kita butuhkan adalah poster film Indonesia — ini jatah Totot, Benny, dan Menteri Desain RI.

Tinggalkan Balasan