MENCOBA MEMUTUSKAN MATA RANTAI.
Sebuah surat pernyataan bermeterai harus ditandatangani tiga orang: si murid, ibunya, dan bapaknya. Isinya, kalau si murid ketahuan nyontek dan atau memberikan contekan kepada temannya saat ulangan/ujian, dan melakukan plagiarisme (termasuk copy-and-paste dari web) dalam tugas, maka tanpa surat peringatan akan langsung dikeluarkan dari sekolah.
Surat pernyataan itu dibuat oleh seluruh siswa (tulisan tangan) sebuah SMA swasta di Jakarta pekan lalu. Pemicunya adalah sebuah kasus, lalu siswa lain harus menanggung.
Bersamaan dengan PR bernama surat pernyataan, ada pula pemberitahuan dari sekolah. Isinya perubahan peraturan, bahwa ketahuan nyontek akan langsung dikeluarkan — artinya merevisi peraturan lama yang cuma mengeluarkan murid dari kelas lalu disusul pemanggilan terhadap orangtua.
Berlebihankah sekolah itu? Bagi saya tidak. Kepala sekolah dan guru prihatin dengan kecenderungan jalan pintas, yang menghalalkan cara, untuk mencapai nilai.
Mereka yakin fungsi pendidikan bukan itu. Secara susah payah mereka menanamkan nilai-nilai agar siswa percaya terhadap kemampuan sendiri, bahwa ranking itu bukan iman, dan lebih penting lagi setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan.
Baiklah kita bisa berdebat kusir bahwa nyontek itu bagian dari seni sekolah. Kita juga bisa mendua, suka mencontek tapi kalau jadi guru akan melarang murid menjiplak.
Saya pernah tahu ada seseorang yang malas mencontek bukan karena terlalu beriman. Dia beruntung orangtuanya menghargai nilai empat sebagai kejujuran daripada nilai sembilan karena curang. Mereka menanamkan satu hal kepada anak-anaknya: bodoh dalam pelajaran bukanlah kiamat.
Bagusnya lagi anak itu punya pengalaman buruk. Gara-gara memberikan contekan dia hanya dapat nilai enam, tapi si pencontek smart itu dapat sepuluh. Ibaratnya si pencontek yang kemampuannya enam itu itu dapat empat jawaban dari multisumber. Dari kanan, kiri, depan, dan belakang; masing-masing satu nilai.
Si pencontek tertawa penuh kemenangan dan menyalahkan anak itu kenapa tak melakukan cara cerdas. Sejak itu, sampai kuliah, si naif lugu yang kurang beriman itu kalau ujian selalu datang mepet waktu dan duduk paling depan. Nilanya kadang D kadang A.
Bagusnya lagi si naif tapi dianggap lurus itu punya rujukan pengimbang. Dulu, seorang dosen di UKSW Salatiga melakukan tindakan aneh di mata koleganya. Dia tak mau mengawasi ujian di fakultas ilmu keguruan dan pendidikan, juga di fakultas teologia. Alasannya, “Mereka itu calon guru, mosok nyontek. Lha yang di teologia itu sebagian besar kan calon pendeta, mestinya malu kalau nyontek.”
Apakah keyakinan (atau ilusi?) Pak Dosen itu terbukti, hanya para bekas muridnya yang tahu.
Kembali ke SMA itu. Mereka mencoba bersikap tegas terhadap zaman yang telah menjadikan atribut dan perolehan akhir sebagai tujuan tetapi mengabaikan proses dan kepantasan, bahkan pelakunya merasa tindakannya smart.
Upaya sekolah itu berat tapi mulia. Lebih baik mencoba memutuskan mata rantai kekusutan daripada hanya mengeluh atas nama keprihatinan.
Itu juga lebih baik daripada kebaikan yang lain: tetap lempang sambil berharap orang lain sama lurusnya (atau barusan lurus setelah bengkok) dengan diri sendiri.