↻ Lama baca 2 menit ↬

USIA DAN KEGAGAPAN TEKNOLOGI. :)

Selagi saya makan ada ngeang-ngeong anak kucing. Secara refleks saya mengangkat kaki, tapi tetap duduk, sambil menoleh ke bawah untuk mencari si meong. Betul, ini respon khas pengudap warung. Nyatanya tak ada kucing. Hanya muncul tawa kecil dari Wicaksono. Suara memelas kucing berasal dari ponselnya. Entah bagaimana cara bekas reporter teknologi itu merekam suaranya sendiri.

Sebetulnya saya sudah tahu bahwa salah satu nada pada ponsel chairman Pesta Blogger 2008 itu berupa suara pus meong. Tetapi ketika saya makan, beberapa waktu lalu, ingatan tak secepat naluri pengudap warung. Ada meong berarti angkat kaki dan menengok ke bawah. Otak tak mengingat bahwa itu dari ponsel.

Seberapa efektifkah suara bisa menggugah saya? Belakangan ini saya kacau balau. Alarm untuk pembangun tidur tak terdengar. Bahkan ketika sedang sibuk berat, dan berkonsentrasi pada satu hal, saya tak mendengar suara penanda SMS, e-mail, dan messenger dari peranti genggam maupun komputer saya.

Bagaimana kalau ganti suara? Sama saja. Tiada hasil. Masalah ada pada saya, bukan alat. Mungkin karena usia, segala isyarat itu seperti tak berguna. Bila ditambah multitasking dalam bentuk yang sederhana, misalnya membuka sejumlah jendela aplikasi pada komputer, suara-suara itu semakin terabaikan.

Uh, multitasking. Ini cuma gaya. Yang terjadi sebetulnya kekacauan fokus. Saya tak dapat melakukan banyak hal secara serentak. Salah satu akibat adalah akhir-akhir ini jarang posting. Baru memulai menulis tetapi tiba-tiba tersela — baik oleh telepon, tamu, maupun rapat — maka apa yang sudah terbangun di benak menjadi luntur.

Yang parah, saya lebih dari sekali ditagih karena belum mengirim berkas via e-mail, padahal seingat saya sudah. Ternyata tombol Send belum saya klik dan komputer saya tinggalkan empat jam.

Selain itu, kalau saya menunda membalas SMS, misalnya karena sedang membual atau menyimak omongan orang, maka ada kemungkin saya akan lupa.

Ternyata adopsi teknologi berhubungan dengan usia — setidaknya dalam kasus saya. Itulah sebabnya saya heran ketika mendapati seorang programer, orang muda, melakukan koding sambil menonton video di laptopnya. Dia terus chatting dengan Y!M dan Gtalk, bahkan dua (ya, dua!) BlackBerry-nya juga dia mainkan.

Saya? Belakangan ini semakin sering meninggalkan komputer dalam keadaan hidup dan aplikasi masih aktif. Kalau saya mematikan komputer, lantas menghidupkan lagi setelah bangun tidur, padahal saya sudah menyimpan berkasnya, tetap saja saya tak dapat meneruskan pekerjaan. Ingatan saya seperti hilang, dan ujung-ujungnya mood pun lenyap.

Tampaknya yang saya butuhkan saat ini bukan konsultasi dengan orang yang terampil bekerja dalam memanfaatkan teknologi digital. Juga tak perlu menanya pemilik ponsel meong yang lancar dalam multitasking. Mungkin saya harus ke psikolog — atau malah gerontolog?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *