Hari Raya kok Nyolong

▒ Lama baca 2 menit

MEMBERI PELUANG PUN BERARTI JAHAT?

Ungkapan yang jadi judul itu saya dengar beberapa kali. Tapi saya contohkan dua saja. Yang pertama kali dulu, ketika saya masih SMA. Motor bebek teman yang bertamu untuk mengucapkan selamat Natal hilang dari halaman rumah saya.

Dalam tempo singkat pencurinya tertangkap — tanpa bantuan polisi. Satu pelaku dari keluarga yang merayakan Natal. Satu pelaku lagi dari keluarga yang merayakan Idul Fitri.

Kasus kedua dari korban penodongan dan polisi pemeriksa tersangka. Mereka bilang, “Mau hari raya kok nodong.”

Memang waktu itu, bertahun-tahun silam, belum Lebaran sih, karena masih bulan puasa. Sel kantor polsek penuh. Beberapa tahanan yang cuma bercelana dalam diborgol lalu dibenamkan ke mikrobus Suzuki Carry yang joknya sudah dicopoti. Mobil itu diparkir pelataran kantor reserse. Seorang bintara bilang , “Biasa Mas, mau Lebaran… Banyak kejadian.”

Memang persoalannya adalah hari raya. Tepatnya hari raya apa saja, yang menurut kelaziman harus diikuti tapi ujung-ujungnya menambah konsumsi. Ada yang butuh uang. Dan THR ada di pelataran parkir, jembatan penyeberangan, dan rumah maupun kantor yang bisa disatroni.

Sampai di sini urusannya adalah persinggungan wilayah “sakral” dan “profan”. Bagi penegak ajaran, hari raya adalah bagian dari dunia sakral. Bagi peraya hari besar, urusannya kadang soal konsumsi.

Jika eskalasi konsumsi tak diimbangi daya beli, apalagi dilatari oleh kerumitan sosial, maka si Ali maupun si Dominggus bisa melakukan apapun yang menghasilkan tapi sebisa mungkin takkan terdengar oleh guru sekolah anaknya: berlaku kriminal.

Cara kasar, yang kadang dianggap kurang cerdas, akan dinilai kurang berbudaya. Tapi cara santun, misalnya menerima uang tunai sogokan di sekitar kerangka waktu buka puasa bersama (katakanlah oleh seorang anggota komisi pemerintah), lalu kepergok KPK, cuma dianggap kecelakaan.

Selebihnya, jika menyangkut kecurian, adalah kerelaan. Dua sahabat saya punya sikap yang berbeda dalam pengamanan.

Tentang sahabat yang pertama, dengan atau tanpa hari raya, alarm dan satpam selalu ada di kantornya. Semua pintu diberi kontrol akses. Lebih penting baginya untuk berjaga-jaga. Kalau pun terjadi hal buruk, dia sudah pernah mengupayakan pengamanan.

Sahabat yang kedua malah sudah lama mencopoti teralis di kantornya. Tanpa alarm, tanpa satpam, bahkan dia sering meninggalkan laptop mungilnya yang tak ber-password begitu saja — malah kadang dia persilakan orang lain memakainya. Permintaannya ke anak buah sebelum Lebaran, “Backup semua data.” Baginya, kalau sudah saatnya kehilangan ya relakan saja.

Saya cenderung sependapat dengan sahabat yang pertama. Dunia ini tidak aman. Masalahnya, saya tak mampu beli alarm dan memang tak ada yang layak disembunyikan dari maling.

Ah, saya teringat seorang ikhwan, santri, yang mengingatkan karena saya menaruh dompet sembarangan, “Kawan, kalau kau beri peluang orang lain berbuat jahat maka kau pun jahat.”

Selamat berlebaran.

Kartu ucapan esktra:
+ Keamanan Lebaran tahun lalu

Tinggalkan Balasan