↻ Lama baca 2 menit ↬

KERUPUK DALAM KEHIDUPAN SAYA.

Tempo hari, pas siang, perut saya lapar banget, tapi tak ada warung buka. Maklum masih awal bulan puasa. Ketimbang asam lambung naik saya ambil kerupuk dari dapur kantor lalu minum teh manis hangat. Teman saya geli campur kasihan. Apalagi saat mendengar suara krauk-kriuk-krauk. Solusinya: kedai Oen Pao harus mengantarkan pesanan.

Kerupuk apa yang saya makan? Aha! Wujudnya Anda tahu. Lihat saja gambar di atas. Tapi sebutan untuk cemilan itu ternyata beragam: kerupuk, kerupuk biasa, kerupuk kampung (lho?), kerupuk putih, kerupuk kaleng, “kerupuk yang bukan kerupuk udang”, dan entah apa lagi.

Harga kerupuk ini sekarang Rp 500,00 per keping eh per lembar. Sebagian orang (Jawa?) menjadikannya sebagai lauk.

Banyak orang bilang, si kriuk krauk itu tak bergizi. Kalau pun ada rendah sekali. Selain itu juga tidak mengenyangkan. Tapi tak sedikit orang yang memadukannya dengan sambal rujak atau lotis.

Bentuk kerupuk kampung ini tak hanya bundar. Ada juga yang empat persegi panjang. Warna selain putih biasanya kuning dan jingga. Biarpun harga sama rasanya bisa berbeda. Maklum produsennya berlainan.

Tentang kerupuk, itu meninggalkan banyak kenangan di benak saya. Pertama: penjajanya. Kedua: wadahnya. Ketiga: pabriknya.

Penjaja? Ya. Dulu, waktu masih bocah, saya senang sekali melihat sepeda penjaja kerupuk. Dari belakang si pengendara tak terlihat karena tertutup oleh kotak besar wadah kerupuk.

Saya selalu menggangap kotak itu kurang pintunya — padahal kata teman-teman sudah banyak (setidaknya tiga). Saya membayangkan anak kecil bisa masuk ke dalam kotak besar berbahan seng itu.

Perihal wadah, tampaknya dari dulu tak berubah. Tetap berupa kotak seng dengan jendela kaca. Dulu nenek saya selalu membeli kerupuk sekotak. Lha kotaknya itu milik si penjual.

Ketika saya sudah berkeluarga, pengalaman berkerupuk ala Mbah Putri itu diulang oleh istri saya. Kotaknya juga milik si penjual. Kami tinggal refill secara prabayar. Akhirnya refill berhenti, kotak tak kunjung diambil. Dari orang lain kami tahu bahwa si aki kerupuk ternyata sudah meninggal.

Tentang pabrik? Ya inilah pabrik yang masuki pertama kalinya saat saya kelas satu SD: pabrik kerupuk. Sebelumnya saya hanya tahu pabrik dari luarnya, biasanya dalam perjalanan ke luar kota. Misalnya pabrik gula dan pabrik kertas — semuanya bercerobong.

Di pabrik kerupuk itulah saya terkesan oleh cara pekerjanya mencetak kerupuk mentah. Mereka memakai tutup kaleng pastiles Wybert yang diletakkan di atas telapak tangan, lantas digeser-geser ketika menadah pecototan dari adonan terigu. Penekan agar adonan terus mecotot adalah batu pemberat.

Mereka bekerja cuma bersinglet bahkan bertelanjang dada. Bau apek keringatnya menggenangi ruangan. Ketika saya mengenal pabrik berikutnya, yaitu pabrik tahu, saya melihat orang-orang yang berkeringat tanpa baju. Ternyata pengalaman mereka saya ulangi, dengan terpaksa, ketika saya bekerja di sebuah media saat AC sentral dimatikan. Telanjang dada! :D

Itulah hubungan saya dengan kerupuk yang hingga kini belum putus. Banyak kisah. Yang saya tak habis pikir kenapa kerupuk cirebon yang digoreng dengan pasir itu disebut “kerupuk melarat”. Menghina betul.

Saya juga tak paham kenapa ada kerupuk kecil yang dinamai “kerupuk tersanjung”. Kabarnya istilah itu muncul saat demam sinetron Tersanjung pada tahun 90-an.

Boleh tahu pengalaman Anda dalam berkerupuk? Bagilah di sini…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *