Batik, Baju Safari, Celana Pendek

▒ Lama baca 2 menit

KEPANTASAN MENURUT ZAMAN.

“Sampeyan kayak pastor atau bruder,” ledek seseorang terhadap temannya yang suka pakai jins dengan baju batik — tapi tanpa sepatu sandal. Itu terjadi sudah lama, ketika batik belum mendemam lagi seperti belakangan ini. Entahlah, apakah Lebaran nanti lebih banyak batik daripada tahun lalu.

Ada lagi seorang pemakai baju batik — lengan pendek, bertema tropis — yang sering diledek sebagai turis. Berpantalon maupun bercelana pendek (termasuk ketika ngantor), dia sering berbaju batik santai.

Itu pun dengan catatan: dia tak punya kemeja batik lengan panjang yang bermotif “layak pesta”. Kalau pun bermotif klasik, itu pun dari jenis yang lusuh, bekas jarik. Lagi-lagi itu terjadi ketika mata kita belum dihajar oleh batik, terutama batik yang dipakai para wanita di segala kesempatan dan cuaca seperti sekarang ini.

Alhasil pemakai lama batik itu sekarang malah tak berbatik. Bukan karena bosan mendapat cap pria “simpatik” (simpanse pakai batik), tapi justru karena tak ingin dianggap korban mode. Suatu kali tanpa rencana, salah satu dari pria sial itu bersama istrinya sama-sama berbatik. Ledekan yang dia terima seperti yang pernah dia lontarkan ke banyak orang: “Hahaha, sarimbit look ya?”

Sebetulnya kunci berbusana adalah nyaman dan percaya diri. Peduli amat dengan kelumrahan. Sepanjang tak merugikan orang lain apa salahnya kan?

Jadi jika selama delapan tahun ini masih ada pria yang gemar ngantor pakai jaket hitam, suatu hal yang tampak generik pada jam bubaran kantor, ya biar saja.

Juga biar saja dengan seorang pria yang langsung membuang jaket-jaket hitamnya pada setahun pertama tren hitam karena dia merasa tak nyaman dikembari sejuta umat.

Nah, omong-omong soal mode, masyarakat kita punya kesewenang-wenangan. Kalau Anda bukan siapa-siapa, dan berani mendahului tren, maka Anda akan dianggap nyeleneh, bahkan bukan tidak mungkin dicap berselera buruk, ketinggalan zaman, tidak fashionable. Tapi jika Anda adalah “siapa”, maka Anda dicap “berani” bahkan “konsisten”.

Masih soal berbeda, karena sengaja maupun tanpa sengaja, memang bisa mengundang tanggapan berlainan, bergantung pada waktu. Memakai kaos dengan desain gaya 70-an pada tahun 1998 akan dianggap jadul, seakan menghentikan jarum jam. Tetapi lima tahun kemudian kaos yang sama akan dianggap keren.

Tentang gaya busana, tentu banyak domainnya. Di kalangan birokrat, sejak tahun 70-an ada pemaksaan baju safari. Pemakainya belum tentu bahagia apalagi nyaman. Di Fisipol UGM dulu ada dosen namanya Herqutanto Sosronegoro, bekas diplomat. Selera humornya kadang bagus. Suatu kali dia masuk ke kelas dengans setelan safari. Dia permisi, “Maaf, saya pakai baju berburu.” Hanya sedikit mahasiswa yang tertawa. Malah ada yang menanya temannya “Maksudnya apa to?”

Safari yang dekat golkarisme itu memang sudah mengalami modifikasi. Bukan lagi setelan khaki, dengan epolet pada baju, melainkan jas berlengan pendek. Safari gaya Afrika kadang malah dengan celana pendek.

Saat safari dan golkarisme menguat, kalangan partikelir pun tertular. Pada awal 90-an tak sedikit eksekutif yang seragamnya mirip safari. Bermula dari sektor konstruksi kemudian menyebar. Baju dan pantalon berbahan sama. Mana orang kantor swasta dan mana pegawai kecamatan tidak beda penampilannya — tapi beda bahan, beda kualitas jahitan, dan beda kendaraan.

Sekarang setelan (mirip) safari halus, terutama yang berbahan gelap, lebih banyak dipakai oleh satpam, pengawal, dan sopir. Cobalah menyewa mobil bagus, dan kenakanlah pakaian macam itu, maka petugas valet akan menganggap Anda sombong sekaligus aneh. Sopir kok ogah markir sendiri.

Tentang celana pendek tadi? Cobalah amati foto-foto perjuangan tahun 40-50-an. Banyak pria berkemeja tapi bercelana khaki pendek dan mereka tak dianggap kurang sopan. Mau contoh? Lihat foto pengibaran Sang Merah Putih saat proklamasi. Juga foto Tan Malaka di Lapangan Ikada (19 September 1945) di samping Bung Karno.

©: Ilustrasi novica.com / national geographic

Tinggalkan Balasan