Bajuku adalah Bajuku

▒ Lama baca 2 menit

MURTAD, PENCERAHAN INTERNAL, DAN GESEKAN ATAS NAMA AGAMA.

Kaget dan prihatin saya membaca tulisan Epat — bukan terhadap si Epat melainkan pihak-pihak yang dia bahas. Lantas saya meluncur ke lokasi. Hmmm. Oh. Ya ampun. Masih saja ada soal beginian atas nama kebebasan berpendapat. Bisa mendidihkan hati bagi yang tak terima — yang ini atas nama pembelaan.

Sebelum saya berlanjut, baiklah saya akui judul analogis di atas itu kurang tepat. Agama bukanlah baju karena baju bisa gonta-ganti sesuai kepentingan dan acara, bahkan baju bisa dicopot sesuai keperluan. Lebih sial lagi, baju bisa terkenakan karena dipakaikan oleh orang lain. Juga, baju bisa diubah warnanya — misalnya melalui Photoshop.

Bagi saya agama adalah pilihan yang sangat pribadi. Termasuk dalam pribadi ini adalah karena tradisi, lingkungan, keterlanjuran, atau bahkan justru kegelisahan dalam mencerna dan memaknai tapi di sisi lain masih merasa cocok. Tidak soal. Namanya juga pilihan pribadi, kan?

Juga tidak soal jika seseorang kemudian berganti agama. Alasannya umumnya adalah kecocokan dengan yang baru. Misalkan di kemudian hari kecocokan itu luntur dan berbalik menjadi ketidakcocokan, lalu kembali ke agama sebelumnya, itu juga tak soal — tapi tentu alasannya tak sesimpel ganti baju.

Sudah biasa jika oleh kelompok yang ditinggalkan orang yang pindah jalur atau terkonversikan itu dianggap murtad. Itu risiko — sepanjang cuma mendapatkan cap murtad.

Ketika sebagian persoalan masih dalam wilayah pribadi tampaknya gesekan tak terlalu panas. Tapi ketika urusannya menjadi tautan antarkomunal, bahkan yang lebih luas dari itu, maka gesekan bisa timbul.

Salah satu pemicu gesekan adalah “pemaparan kekurangan agama lama”. Kesan saya berganti agama akan menjadi paket komplet jika disertai paparan ke sana-sini.

Repotnya ada saja sebagian pihak dari kalangan agama baru si pemeluk baru yang menjadikan dia sebagai penghibur yang harus ditanggap terus. Seolah dengan mendengarkan “kekurangan agama lain” maka iman penanggap akan dipertebal, sehingga akan merasa lebih terkukuhkan, “Berarti jalan kita selama ini benar.” Seolah belum sah jika menyebut diri benar tanpa menyebut pihak lain salah.

Ketika seseorang cocok dengan agamanya, termasuk dalam kasus agama barunya, bahkan menganggap jalan inilah yang paling benar dan paling terang, maka bagi saya urusannya selesai.

Tapi ketika proses inisiasi tanpa henti itu juga disertai paket komplet (atas nama) pemaparan kekurangan agama lain maka penghinaan, penistaan, dan penyebaran kebencian — atau apapunlah yang intinya mencari perkara — menjadi sangat dekat. Biasanya muncul reaksi panas.

Ini bisa terjadi pada pemeluk agama apa pun. Maka ada saja “paparan mantan suster” dan “kesaksian bekas mubalig” — kadang disertai buku dan video. Pencerahan dari “orang baru” atau “orang lama yang telah kembali” bukan lagi hiburan rohani yang menenteramkan tetapi menjadi pemicu kegelisahan dan kegerahan pihak lain.

Tak cukupkah orang hanya berkata inilah yang cocok bagi saya dan sejauh ini paling benar, tanpa menuding pihak lain sebagai pelaku dan pemelihara jalan salah yang harus dikoreksi?

Tinggalkan Balasan