MELEDEK KEKUASAAN UNTUK MENGHIBUR DIRI.
Rp 10.000 dapat tiga kantong cemilan. Misalnya sale pisang, kacang telor, sompia. Itulah oleh-oleh yang barusan dibawa oleh istri saya. Dia membelinya di kantor. Bukan soal rasa yang hendak saya bagi tapi kemasan. Tepatnya label merek. “Kriuk” — sesuatu yang mewakili bunyi dan sekaligus ledekan terhadap guyon garing. “Bagi Rasa bukan Bagi Kekuasaan” — itu jelas meledek penguasa dan orang partai.
Maka saya menyebut penggoyang dagu ini sebagai cemilan subversif. Misalkan makanan berkelas industri rumah tangga (P-IRT 206360301268) ini muncul pada Orde Baru, maka pemiliknya bisa berurusan dengan Koramil dan Kodim.
Si perajin makanan akan mendapat pertanyaan default, “Maksud dan tujuan daripada Saudara itu apa?”
Jika berhadapan dengan bintara, misalnya Sersan Pepper dari Rotten Hearts Club Band cap Serdadu Kenthir, jangan mencoba berdiskusi apalagi berdebat. Misalnya balik bertanya, “Apa yang Bapak artikan dengan maksud, dan apa pula itu tujuan?”
Apapun yang nyeleneh, berbeda dari mainstream saat itu, akan dianggap subversif. Petani menanam kedelai atau jeruk, padahal Pak Jenderal Senyumtapibengis mau berswasembada beras, itu sama saja mengundang Koramil. Apapun yang berbeda berarti merongrong kewibawaan dan kekuasaan — istilah lain untuk pembocoran rahasia negara, kata gurauan waktu itu.
Ah, sudahlah itu masa lalu. Sekarang orang bebas berteriak. Untuk satu soal, SBY pernah memberi contoh yang baik. Dia mengadu ke Polda Metro Jaya karena merasa nama baiknya dicemarkan oleh Zaenal Ma’arif, seorang politikus.
Saya puji SBY karena para abdi dalem tak serta merta menggunakan haatzai artikelen untuk menjebloskan orang lain ke bui, sementara pihak yang merasa terhina diam saja.
Masalahnya, setelah orang bebas berteriak dan meledek, termasuk melalui kaos oblong dan blog, apakah kaum terledek itu menjadi tersentuh?
Jika menyangkut kebebalan (bukan kekebalan) penguasa dan jaringannya, maka ledekan tetap punya fungsi terapetik bagi pembuat dan pengedarnya. Untuk lucu-lucuan dan menghibur diri. Kriuk ya biarin.
Selebihnya biarlah menjadi dokumentasi untuk studi sejarah. Kelak akan ada akademisi yang menjadikannya sebagai sebuah kajian. Akademisi di luar negeri atau dalam negeri? Konon asing atau domestik itu bukan isu penting. :D