↻ Lama baca 2 menit ↬

AKHIRNYA YA JALANI SAJA…

cd musik mp3 pribumi dahsyat

CD kompilasi MP3 milik seorang karyawan sebuah kantor itu menarik perhatian saya. Judulnya Pribumi Dahsyat!!! (iya, pakai tiga pentungan). Isinya ya kumpulan album sejumlah artis musik Indonesia, termasuk ST12 dan Dewiq. Maka Jumat sore kemarin itu saya tersadarkan oleh satu isu lama: pribumi. Siapa itu pribumi atau bumiput(e)ra?

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan pribumi sebagai “penghuni asli; yang berasal dari tempat yang bersangkutan”. Adapun bumiputra adalah “anak negeri; penduduk asli”. Kita tahu, istilah kedua ini menjadi nama sebuah maskapai asuransi.

Ya, ya, ya. Mari kita becermin kepada keseharian kita. Pribumi adalah non-Cina dan nonpribumi adalah Cina. Keturunan Arab, Belanda, dan India jarang disebut “nonpri”. Misalnya ada orang Jawa berkewarganegaraan Suriname atau Kaledonia Baru, dan bermukim di Indonesia, dia tak dianggap sebagai nonpri.

Keturunan Cina di Benteng (Tangerang) atau Singkawang, biarpun sudah lima generasi di sana, tetap dianggap nonpri. Adapun pendatang dari Kaliangkrik, Jawa Tengah, yang baru seminggu memasang antena BTS di luar Pontianak, tetap berlabel pribumi.

Milik pribumi. Ingat? Dua kata itu pernah menjadi mantera penyelamat saat kerusuhan rasial. Tembang pribumi? Entahlah. Mungkin sekadar gagah-gagahan, atau nyeleneh, tanpa landasan chavinistis.

Karya anak bangsa? Tak ada hubungannya dengan isu pri dan nonpri. Tapi istilah anak bangsa, bagi sebagian orang, memberi sugesti kuat untuk mengatasi inferioritas di tengah persaingan mondial. Sesuatu yang bagus dan bermanfaat, tapi bukan bikinan orang Indonesia, mungkin akan disebut sebagai karya anak bangsat.

Aku, kamu, kita, kami, mereka. Itu bagian dari kesadaran manusia terhadap keberadaan dirinya di tengah manusia lain.

Lantas bagaimana kita meletakkan produk bajakan cap Pribumi Dahsyat!!! itu? Sayang saya tak kenal siapa peramunya untuk menanya alasannya.

Bisa jadi alasannya cuma hahahihi. Toh yang termasuk dalam jaringan distribusinya (dan mungkin juga produksinya) adalah toko-toko milik keturunan Cina.

Persetan dengan pertengkaran soal makna. Pokoknya jualan. Yang penting menghibur. Pincang atau adil, nyaman atau menyakitkan, terima saja apa adanya. Jangan menarik soal terlalu jauh, sampai membawa-bawa nama Liem Koen Hian, Tan Eng Hoa, Oey Tiang Tjoe, Oey Tjong Hauw, dan Jap Tjwan Bin. Mereka itu lima dari 62 orang anggota BPUPKI.

Dirgahayu Indonesia!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *