ADA RASA PORTAL DAN RASA TUNG-TUNG.
Suara itu. Melodi Wall’s yang tak enak di telinga tapi kadang menyadarkan kita tetang melintasnya penjaja es krim. Maka siang itu, di rumah blogger, Jalan Langsat, Jakarta Selatan, saya menghambur keluar. Beberapa orang sebaya geli. Ada yang nyeletuk, “Bocah tuwa, isih seneng jajan es krim!”
Peduli amat. Saya lagi pengin. Kemarin-kemarin, saat siang di rumah, saya kadang hanya mendengar suara Wall’s itu tapi tak melihat si penjaja lewat. Rupanya dia hanya bisa melintasi gang lain di kompleks saya karena jalan terdekat menuju rumah saya dipasangi rantai oleh satpam.
Tentang rantai, palang, portal, yang ditutup saat siang sepi, saat anak-anak sekolah belum tiba di rumah, itu memang penyakit permukiman. Demi keamanan. Akibatnya penjaja jajanan yang tak mau memutar malas melewati blok tertentu.
Inilah potret sosial kita: permukiman yang tak eksklusif, tak punya cluster yang cul-de-sac, akhirnya harus memagari diri. Tamu dan kurir harus berputar-putar. Kalau saya tak salah ingat, pelopor beginian pada akhir 80-an adalah permukiman di Kelapa Gading Permai, Jakarta Utara. Banyak jalan dipalang, padahal perumahan generasi awal itu tak dirancang sebagai kumpulan cluster.
Kembali ke es krim, ya. Gara-gara palang jalan di rumah itulah niat saya beranyes-anyes tak mendapatkan saluran. Kemudian di Langsat saya mendapatkannya. Hanya itu. Padahal saya bukan penggemar es krim. Cuma sesekali pengin.
Itulah sebabnya saya terbukti sangat udik ketika heran melihat orang di negeri dingin, saat dingin banget, tetap makan es krim. Sebagai orang dari tanah tropis saya kadung punya persepsi bahwa es krim hanya cocok saat kita kepanasan. Memang ada yang penjelasan yang masuk akal, tapi persepsi susah lunturnya. :D
Selain persepsi, tentu es krim juga melibatkan kenangan. Dulu, waktu saya bocah, tidak ada Wall’s maupun Woody dan Diamond yang dijajakan. Es krim keliling dijajakan dengan gerobak. Penjualnya menabuh canang. Bunyinya tung-tung-tung. Maka ada yang menyebut “es tung-tung”.
Karena menyangkut onomatopea — jalinan kerja kuping-otak-mulut dalam menyalin bunyi — maka ada yang menyebutnya “es pung-pung” yang kemudian disingkat “es pung”.
Soal lain yang kagak nyambung? Ada. Tentang es loli, Anda pasti ingat lelucon jayus basi garing. Jadi lompatilah bagian ini, langsung saja ke paragraf penutup saja.
Kalau masih mau baca, inilah kisahnya. Seorang bocah laki, murid TK, bertanya kepada gurunya, “Ibu tahu nggak, dari tiga tante yang lagi makan es itu, mana yang udah married?”
Bu Guru, entah kenapa, jengah. Cuma mengelus kepala si bocah seraya berkata lembut dengan senyum, “Ah kamu ini. Memangnya kamu tahu mana tante yang sudah menikah dari melihat cara mereka makan es?”
“Bukan itu, Ibu. Kenapa muka Ibu merah malu gitu? Yang udah married itu tante yang paling kiri. Lihat, dia pakai cincin kawin.”
Anda punya cerita tentang es krim dan es-es lainnya yang dijajakan? Bagilah.