Sihir di Internet

▒ Lama baca 2 menit

TIPU-MENIPU, LALU?

intimFiksi dan fakta, imajinasi dan realita, seberapakah kita bisa membedakan? Baiklah saya ralat: seberapakah kita mau membedakan? Orang dewasa bisa membedakan tapi kadang sengaja mematikan kesadaran dan akal sehat karena imajinasi dan ilusi lebih membuai.

Seorang sastrawan yang selalu membuka cakrawala cinta pembacanya sangat berkemungkinan mengundang penasaran wanita pembacanya.

Apakah si penulis itu romantis? Sangat memahami wanita dengan segala keinginan terpendamnya dan bisa membantu mengeluarkan isi kotak dengan nyaman dan ehm… rahasia?

Begitulah kira-kira sejumlah tanya penasaran. Dalam bahasa sederhana, “Pacar dia banyak ya? Sama siapa saja? Kehidupan rumah tangganya beres? Istrinya cantik nggak?”

Tak hanya wanita. Pria pun bisa penasaran, lalu berkhayal dengan menambah rujukan dari sana-sini, yang ujung-ujungnya adalah proyeksi bahwa wanita penulis novel (atau penulis blog) itu juga sosok yang mendidih dan masih mencari penyaluran hasrat tersembunyi yang tepat.

Selalu ada sihir melalui media. Dari masa ke masa ada saja penyiar radio yang membuat pendengarnya kecanduan. Sebuah stasiun radio, yang kebanyakan pendengarnya adalah wanita karier lajang, punya pria penyiar andalan yang mengudara tengah malam. Persoalannya bukanlah kalau yang siaran wanita kasihan pulangnya. Pendengar memang butuh bisikan malam. Dari pria. Yang bercerita apa saja. Seolah menyapa satu orang saja.

Contoh lain? Premium call yang erotis. Cukup dengan mendengarkan suara dari wajah yang tak pernah dilihatnya si penelepon bisa terpanggang sampai lupa pulsa. Padahal suara srat-sret ritlsleting bisa saja dari tas atau jaket si operator.

Sihir suara. Sihir teks. Selalu saja ada. Dulu zamannya musim ngebrik (dari sana asal istilah kopdar), ada saja pasal kepincut. Kemudian suara meluas ke teks. Cukup melalui messenger dan e-mail seseorang bisa terpiuh oleh lawan bicara. Selalu rindu untuk menyapa dan disapa. Ingin selalu memperlakukan dan diperlakukan secara istimewa — padahal hanya maya.

Kemudian, kemudian, dan kemudian mereka bersua, tatap muka. Ada yang romantis, ada yang bersahabat, ada yang berkawan biasa, tapi tak sedikit yang pada jumpa pertama sudah memetik berbuah kuciwa. Jauh panggang dari api. Jauh tampang dari imajinasi.

Dari perjumpaan yang tak berbuah kuciwa itu ada juga yang kemudian tertipu, teperdayai. Bukan saja rugi uang (yang bisa dicari lagi), tetapi juga rugi rasa karena perjumpaan bukan sekadar ngopi bersama. Justru rugi hati itu yang disesali dan kadang ditempatkan sebagai aib tak terampuni oleh diri sendiri.

Bukan salah internet. Bukan salah blog. Tapi kalau salah satu pihak merasa tertipu bukan berarti pihak penyebab merasa sebagai penipu. Bisa juga sebaliknya: penyebab kerugian sadar telah menipu, tapi si terugikan tak merasa sebagai korban, bahkan membela si pelaku.

Hidup memang tidak hitam-putih. Dan soal beginian akan terulang dan terulang lagi.

© Ilustrasi: Intimacy, Ann McMurry, annmcmurry.com

Tinggalkan Balasan