↻ Lama baca 2 menit ↬

PERLAKUAN WAJAR DAN PERLAKUAN PLUS.

Petruk dadi ratu, ratu dadi Petruk

Kita semua ingin jadi raja dan ratu. Dalam bahasa Jawa, ratu juga berarti raja. Maka adalah lakon wayang Petruk Dadi Ratu, yang pernah dipelesetkan oleh Lembaga Humor Indonesia (Arwah Setiawan) menjadi pementasan Ratu Dadi Petruk. Adapun Ben Anderson, dalam New Left Review, memelesetkannya menjadi Petrus Dadi Ratu — merujuk “pembunuhan (sok) misterius” pada 1982.

Ke manakah arah tulisan ini? Menyambung dua tulisan sebelumnya: tentang gengsi dan diskrimansi. Beberapa pembaca berjapri, menanya apakah saya antimoge. Tentu tidak. Bahkan saya ingin punya. :D

Di sini saya hanya mengajak kita (ya Anda, ya saya) untuk becermin bareng. Sebagian dari kita memang butuh privilese, perlakuan khusus yang mengarah ke pemuliaan. Kadang kita kurang rela bila orang lain mendapatkannya — kecuali kita dapat manfaat.

Di warung kopi dekat jembatan, Anda bisa langsung duduk mencangkung dan bilang, “Biasa.” Kopi susu dan Indomi rebus akan datang.

Di kedai mentereng juga sama. Begitu duduk dan buka laptop di sofa favorit yang PW, Anda akan mengangguk tanpa ditanya lalu hot cappucinno akan datang. Lain kali sebelum datang Anda cukup menelepon, dan kapling akan dikosongkan.

Suatu kali pegawai toko CD meng-SMS Anda, bahwa sejumlah CD dalam jumlah terbatas telah mereka impor. Ketika Anda membalas “ya, saya ambil”, maka barang itu akan tersimpan, tak dipajang, sampai Anda datang membayar. Orang lain, yang duluan ke toko, tak kebagian.

Ketika melakukan itu kita tak merasa merajakan diri. Merasa biasa saja. Sebagai pelanggan kita merasa layak dapat perlakuan khusus.

Tak ada yang salah dengan itu. Sebagai pelanggan sebuah percetakan, Anda cenderung menawar biaya dan waktu. Lebih murah, lebih cepat.

Kawan saya tidak gila hormat, tetapi pernah membeli audio senilai Rp 40 jutaan (harga tahun 2000) di sebuah toko dengan alasan, “Hanya toko itu yang mau nerima saya dan teman saya. Toko-toko lain nyepelein kami soalnya teman saya cuma sandalan.”

Di sini persoalannya adalah diperlakukan secara wajar, setara pelanggan lain yang berpenampilan mentereng. Dari rumah ingin ke toko A, tapi pilihan akhirnya jatuh ke toko D karena perlakuan.

Ya, ya, ya. Pelanggan adalah raja. Dan itu tak mesti berkaitan dengan daya beli dan gengsi. Memohon-mohon diskon dan percepatan penyelesaian karena anak juragan pernah jadi kekasih, itu juga tak ada hubungannya dengan daya beli plus gengsi.

Intinya, kita senang diistimewakan. Bila perlu memakai jalur orang lain. Punya kawan atau saudara yang jadi anggota DPR kenapa tak dimanfaatkan, misalnya untuk lencana korps pada pelat nomor mobil? Lumayan, bisa lolos three-in-one.

Keistimewaan dan pengistimewaan adalah kemuliaan, adalah kekuasaan. Maka Petruk pun ingin jadi raja. Tetapi ketika raja tak dapat mengelola kekuasaannya secara wicaksana, maka dia tak lebih dari Petruk tukang ndagel.

Pernahkah Anda memanfaatkan kemudahan akses demi kenyamanan, apapun bentuk dan tingkatnya? ;)

Dalam hal apa Anda tak merasa banyak tuntutan, hanya ingin diperlakukan wajar tanpa penyepelean, sehingga Anda berani memutuskan untuk berganti layanan, tak perlu beli gengsi?

© Ilustrasi: Bambang Toko

1 thought on “Raja Jadi Petruk

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *