↻ Lama baca 2 menit ↬

SUKA DAN TAK SUKA DALAM PEMBEDAAN.

motor besar atawa moge di jakarta

Sore itu baru ada dua motor besar yang terparkir. Honda VLX dan Ducati ST3. Selewat petang jumlahnya bertambah. Saya tahu dari raungan knalpot yang terdengar dari kedai kopi di bawah parkiran. Brmmmm…. jigjigjigjig… dungdungderungdung… gler! Big boys. Big toys.

Kenapa mereka boleh bahkan dianjurkan memarkir tunggangannya di sana, sementara pemilik skutik (kreditan) tak diizinkan?

Kata Pak Satpamwan yang menjaga, “Soalnya mahal. Yang punya kan bos-bos, orang kaya.”

Saya tak membantah pun menentang — apalagi sok tahu menginformasikan itu moge juga bisa dikredit. Yang pasti itu barang keren. Layak pajang. Pemiliknya layak mendapatkan perlakuan khusus. Kehadiran motor-motor besar akan menambah wibawa pusat perbelanjaan Senayan City, Jakarta. Cilandak Town Square juga punya kapling serupa. Semuanya di depan bangunan.

Misalkan semua motor berjenis besar, padahal skutik 100 cc cuma satu dari 10.000 motor besar, dan harganya tiga kali lipat city car termurah, mungkin yang boleh mejeng hanya capung darat bermesin itu. Tak masalah kan?

Privilese untuk orang tertentu. Itu hak setiap pemilik dan pengelola tempat. Biasa dalam kehidupan sosial. Bagi saya tak masalah. Tetapi bagi orang lain kadang dianggap berlebihan, terlalu membedakan kelas sosial.

Pembedaan dalam perlakuan. Diskriminasi. Dalam hal apa kita terima? Kadang jika menjadi si tertolak, kita tak suka. Merasa diorangluarkan, tak diakui, bahkan dimusuhi. Tetapi ketika menjadi si termuliakan, kita menikmatinya, bahkan membanggakannya. Ini seperti orang yang tak pernah antre untuk masuk ke tempat hiburan karena selalu berstatus guest list.

Diskriminasi bisa formal dalam arti ternyatakan, bisa pula tak tertulis tapi dipraktikkan. Bagi saya, lihat-lihat dulu persoalan dan cakupannya. Hanya membolehkan orang berkarcis masuk ke ruang tontonan, itu juga diskriminasi — dan saya menerimanya.

Bagaimana dengan organisasi? Untuk bergabung ke gathering Perbakin (persatuan bathuk kinclong atawa persatuan jidat mengilat) tentu hanya orang botak dan gundul yang diizinkan aktif.

Adapun dalam wadah kegiatan, kalau saya memaksakan diri masuk ke tim futsal atau voli pasti dengan girang hati akan ditolak oleh para pemain karena saya tidak bisa.

Di sebuah lantai sekolah khusus anak perempuan di Lapangan Banteng, Jakarta, kamar kecil untuk pria hanya satu. Jejeran bilik lain untuk wanita. Itu pun wajar karena lelaki di sana memang sedikit, sehingga kaos olahraga siswinya bertuliskan “0% Lelaki”.

Diskriminasi menjadi salah jika alasannya berdasarkan perbedaan yang ada pada satu atau sekelompok orang tetapi diterapkan pada hajat hidup bersama. Tidak boleh masuk ke klub renang karena warna kulit berbeda (kalau panuan bin kudisan?). Dihambat naik pangkat karena kapling keimanannya lain. Ditolak jadi pegawai karena homoseksual.

Tentu, untuk memastikan sesuatu itu diskriminatif kadang juga butuh kompromi. iPhone pernah dianggap diskriminatif terhadap wanita (tepatnya: misogyny) karena akses terhadap tombol menjadi agak sulit bagi jari berkuku panjang. Sensornya hanya mau kenal jari, bukan kuku.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *