↻ Lama baca 2 menit ↬

KETIKA PEKERJAAN JUGA BERARTI PERTEMANAN…

amplop majalah jakarta jakarta

Saya kaget ketika tadi menerima kiriman via pos. Amplopnya itu. Logonya itu. Nama majalahnya itu. Lama saya tak melihatnya. Selama ini hanya ada ingatan fotografis di kepala tentang logo itu dan ingatan berupa kata (sebagai bunyi, bukan aksara). Lebih mengesankan lagi, si pengirim yang mecantumkan coretan “sisa amplop” itu setahu saya bukan pengumpul barang lawas.

Tentang amplop, yang masih tampak baru karena rupanya lama tersimpan, setahu saya itu bukan amplop untuk keperlan rutin. Itu amplop kartu ucapan entah Lebaran atau Natal. Hanya dicetak bersamaan dengan pembuatan kartu. Ternyata masih ada yang menyimpannya dan kemudian menggunakannya. Tiba-tiba pertalian lama belasan tahun silam menghadir kembali.

Pada 1998, setahun sebelum majalah itu tutup, saya cabut dari sana. Pindah ke sebuah proyek penerbitan baru setelah delapan tahun bekerja di majalah itu.

Selama delapan tahun itu saya belajar banyak hal, tak hanya keterampilan yang berhubungan dengan profesi tetapi juga tentang manusia dan kehidupan.

Salah satu mitra kerja saya di sana adalah si pengirim dua keping CD open source dalam amplop itu. Dialah teman berdiskusi saya. Kadang kami berdebat seru. Tapi chemistry kami bersenyawa cepat sekali dalam berbagi tugas saat darurat. Seperti pelawak Srimulat yang bisa impromptu tanpa briefing atau penuangan berlama-lama.

Di kemudian hari kami sempat sekantor selama enam bulan. Meja kami berhadapan. Tapi kami jarang bicara apalagi mengudap bersama. Tak ada waktu. Masing-masing didera tenggat dan penanganan anak buah. Sempat kami bertukar keluhan, “Kenapa kita nggak bisa kayak dulu lagi, Dab?”

Sebuah ungkapan tulus penuh kerinduan. Tak ada hubungannya dengan posisi kami sebelumnya setelah sama-sama keluar dari majalah itu. Posisi yang memperhadapkan kami sebagai pesaing satu sama lain, sehingga ketika pacuan dimulai kami cukup bersalam melalui telepon sambil hahahehe, “Sekarang kita berkompetisi.”

Saya yang kalah. Padahal sebelumnya saya yakin menang. Dia juga yang sangat sedih ketika saya kalah. Dia pula yang lebih awal mengabarkan kekalahan tim saya sebelum itu resmi diumumkan. Dia mengabarkan tanpa kejumawaan. Lebih terasa kegalauan seorang sahabat. “Asu tenan he, Tyo!” itu pembuka kabar buruknya melalui telepon suatu malam.

Alangkah cepatnya waktu berlalu. Kami sama-sama menua. Anak-anak kami sama-sama sudah remaja. Dialah yang memberi tumpangan saya di kamar indekosan sempit pada hari-hari awal saya bekerja.

Perkawanan, persahabatan, kesejawatan, dan nilai-nilai bagusnya, seringkali justru mengemuka saat kita tinggal mengenangnya.

Ketika mengetik posting sentimental ini, saya teringat satu kawan lagi. Dia kreatif, serbabisa, usil, jail, kocak, optimis. Rambutnya sekarang memutih, tapi masih bisa memahami dunia remaja. Dialah partner in crime saya. Kekurangajaran dirinya dia labeli dengan nama N.V. Doea Doerdjanah.

Dunia kerja tak hanya soal bangunan bernama kantor yang setiap akhir bulan membagikan upah. Di sana ada kehidupan dengan segala nilai-nilainya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *