↻ Lama baca 2 menit ↬

BAWALAH KALAU ANDA KE SURABAYA.

buku panduan jajan surabayaRujak dungus? Walah, apa pula ini. Saya baru dengar pagi ini. Harga seporsi Rp 6.000. Pembeli harus antre dengan mengambil kartu urut seperti di tempat praktik dokter.

Ada lagi sate klopo. Kabarnya sudah “eksis” selama setengah abad. Seporsi (10 tusuk), tanpa gajih, Rp 12.000. Cocok untuk berlatih kesabaran karena harus ngantre lama.

Info itu saya dapatkan dari Waroeng Cangkrukan Suroboyo hasil ramuan tiga cacak. Ada 150 tempat, hampir semua tak saya kenal karena saya tak paham Surabaya. Shorcut paling bagus tentu mengharapkan panduan Fahmi. Dia siap antar dan siap bayar — setidaknya itulah pengalaman saya dua tahun silam. :)

buku panduan jajan surabaya

Singkat kata, sebelum menodong Fahmi atau menculik Budiwijaya (sayang Andry mengungsi ke Jakarta), kalau Anda ke Surabaya bawalah buku ini. Layak rujuk. Ada peta dan harga. Semoga Anda pergi tanpa banyak wanti-wanti dari dokter dan ahli gizi. Terutama jika usia Anda sudah mewajibkan kebijaksanaan dalam asupan.

Jika jajanan lain yang Anda harapkan, karena sebelum tiba di Surabaya hidung Anda sudah belang, maka dermatolog yang harus memberikan pembekalan — tapi itu di luar sajian buku ini.

Dunia perdapuran memang menarik, bahkan untuk orang yang burook salero seperti saya ini.

Kuliner bukan hal baru. Tetapi sebagai istilah serapan, kalau saya tak salah ingat, baru diakrabi akhir 80-an.

Di luar itu adalah obrolan tentang jajanan antarkawan, sesuai kelas sosial dan kemampuan kantong. Bahwa sekarang banyak buku berisi panduan jajan, yah itulah hasil rintisan tulisan Umar Kayam, wawancara dengan William Wongso, sajian free mags, bimbingan majalah gaya hidup (wanita), acara TV, buku Laksmi Pamuntjak, dan… blog (juga: milis)!

Pengalaman rasa memang bagian dari kehidupan manusia. Pada tingkat paling sederhana, manusia di mana pun mengenal konsep “enak”. Para kanibal pun mungkin punya. Selanjutnya, rasa adalah soal wawasan, pergaulan, dobosan, rasa kekinian, dan barangkali snobisme.

Generasi saya, ketika masih bocah, setiap diajak bepergian akan menanya orangtua, “Nanti jajan apa, di mana, Pak?”

Generasi anak saya, setiap diajak ke luar kota, akan bilang, “Wahhh kita akan wisata kuliner ya, Pak?” Jawaban saya selalu, “Ndak ada duit, Nak…”

Hmmm… wisata kuliner. Kayaknya istilah ini belum sampai lima tahun umur keberterimaannya.

JUDUL: Waroeng Cangkrukan Suroboyo: 150 Tempat Makan Pilihan di Kota Surabaya dan Sekitarnya • PENULIS: Prasetyo Wardoyo (Cak Pras), Roesdiono (Cak Roes) & Siswanto (Cak Sis) • PENERBIT: Tiara Aksara (Surabaya, 2008) • UKURAN: 14 cm x 21 cm • TEBAL: viii + 92 halaman • HARGA: Rp 35.000

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *