DIPERALAT OLEH KEMISKINAN ATAU KETAMAKAN ORANG DEWASA?
Dua bocah itu lagi. Nongol di jendela lagi. Ingin melompati. Bagian dari serombongan anak yang beredar di sekitar Mayestik, Jakarta Selatan, saban sore. Mengaku berumah di Cikarang, Bekasi. Mereka membawa map plastik lusuh, meminta uang. Menyambangi beberapa rumah, kedai, dan kantor selepas magrib.
Anak lelaki itu, tak pernah jelas menyebut namanya (setelah ditanya “Oh namamu Rayhan?” dia langsung mengiyakan), mengaku kelas tiga SD. Anak perempuan yang menemaninya, juga selalu tak jelas jika menyebut nama, menyebut diri kelas dua SD.
Sudah biasa. Anda pun kerap menjumpainya. Anak-anak yang diperalat oleh orang dewasa untuk mengetuk pintu kedermawanan. Anak-anak yang dibekali dengan dokumen lusuh.
Tidak. Saya tidak sedang menyasar kelompok keagamaan tertentu. Beberapa tahun silam polisi pernah menggerebek sebuah rumah petak di Jakarta Barat yang dihuni oleh para wanita peminta sumbangan. Ternyata dokumen pengabsah permohonan bantuan, atas nama badan keagamaan (panti asuhan, rumah ibadah), itu fiktif belaka.
Teman saya, Ijoel namanya, ketika menanya sehari dapat berapa kepada seorang pemuda berkopiah dan berbaju koko pengedar kotak amal di angkutan umum, pernah dibentak, “Diem lu!” Bentakan yang jauh dari lantunan pinta berbuka salam dan bertutup doa yang selalu diperdengarkan.
Tentang anak-anak itu. Mereka berbelas anak, dengan kawalan dua orang dewasa, naik bus dari Cikarang ke Blok M (saya belum mengecek adakah trayeknya), berangkat siang sepulang sekolah (selalu berbelit jika ditanya sekolah apa).
Perolehan akan dibagi dua. “Kalo dapet gocap (lima puluh [ribu rupiah]), yang dua lima (ribu) buat Pak Haji, yang dua lima (ribu) buat sekolah saya, disimpen sama Ibu.” Tentang jajan selama perjalanan, mereka hanya menggeleng ketika ditanya.
Hari kian gelap. Anak-anak itu belum juga ingin beranjak. Ditawari minuman mereka girang — dan meneguknya dengan penuh kedahagaan. Diperbolehkan ke toilet mereka senang — dengan diajari cara memperlakukan kloset.
Mereka enggan pulang. Mereka masih penasaran, ingin diperbolehkan lagi oleh Oom Boy (programer) mencobai iMac dengan mengetuk-ketuk dan mencakar-cakar kibor alumunium lalu melihat hasilnya di layar datar-tipis nan lebar. Pekan lalu mereka mengalaminya, dan ketagihan.
Cerita tentang pukul berapa malam mereka tiba di rumah, dan seterusnya, adalah hal membingungkan — atau tak penting. Siapa yang disebut Pak Haji mungkin juga hanya rekaan.
Kadang, mata rantai kemiskinan bisa terlalu jahat untuk anak-anak.