Sepur-sepuran Orang Mega(lo)politan

▒ Lama baca < 1 menit

SEMOGA SUDAH DISINETRONKAN.

sepur ciujung

Seorang sobat mengajukan syarat untuk bertemu. Paling malam usai pukul sepuluhan, di lokasi yang segeberan gas ojek dari stasiun Palmerah maupun Duku Atas. Saya langsung menebak: dia sudah diuntungkan oleh kereta api Ciujung (Serpong-Jakarta).

Memang kereta sampai malam itu menguntungkan pekerja yang dapat memanfaatkannya. Misalnya orang Bintaro, Serpong, Ciputat. Orang Pondokgede juga bisa memanfaatkan, naik dari Duku Atas sampai Serpong, lantas dari stasiun tujuan berganti taksi (mahal!) atau ojek (tukang ojeknya nyasar waktu pulang), atau menyetir mobi; sejauh 50 km. Intinya: tidak praktis bahkan ngawur.

Menyetir mobil di Jakarta itu semakin tidak menyenangkan. Makanya beberapa eksekutif di pusat bisnis, yang bermukim di kawasan dekat stasiun, pada memilih kereta.

Ketika menyetir mobil hanya mendatangkan stres (termasuk mencari parkiran) dan membuang-buang BBM, angkutan umum yang beradab pun menjadi kebutuhan. Kepepetnya ya tetap naik mobil tapi disambung sarana transportasi (yang diupayakan oleh) publik, yaitu ojek.

Maka bisa saja selepas lunch di Setiabudi Building (Jalan H.R. Rasuna Said), mobil tetap diparkir di sana, lantas pemiliknya naik ojek ke Ritz Carlton Mega Kuningan.

Saya pernah tahu ada orang yang menitipkan mobil ke valet service Cilandak Town Square, lantas memanggil ojek untuk mengantarnya ke Mayestik. Orang yang sama pernah meninggalkan mobilnya di Hotel Nikko (Jalan Thamrin) seusai acara, lantas naik TransJakarta ke Blok M, disambung ojek ke Gandaria. Pernah pula dia menyerahkan mobil ke valet Plaza Semanggi, lantas berojek ke Kuningan.

Karena saya bukan pengamat sinetron maka saya tak tahu apakah adegan eksekutif berkereta dan berojek itu pernah disisipkan. Tanpa diantar sopir mobil pribadi atau dinas, sehari ingin mencapai empat lokasi di Jakarta kadang hanya berbuah sakit jiwa.

Mass rapid transit, itu kuncinya. Masalahnya pemerintah gagap dalam menyediakan. Ukuran kemajuan baru sebatas gedung bagus, jalan (yang semoga) mulus, dan seliweran mobil pribadi. Pada kampanye pemilihan presiden 2004 setahu saya kandidat yang menyebut rel ganda Jakarta-Surabaya hanya Mega-Hasyim.

Para tuan di pemerintahan, pun di parlemen, hanya menjadikan urusan transportasi massal sebagai alasan studi banding dan tambahan pekerjaan rumah, tanpa penghayatan pol-polan. Kenapa? Mereka tak pernah menggunakan angkutan umum.

© Ilustrasi: ulfims.dagdigdug.com

Tinggalkan Balasan