Misalkan jelajah ingatan manusia dewasa bisa sampai ke masa balita, bahkan batita, mungkin sebagian dari kita ingat rasa kertas. Bukankah bayi, kalau tak diawasi, bisa mengunyah atau setidaknya mengulum kertas?
Rupanya kertas bisa memberikan sensasi. Saya ingat, pernah melihat bocah laki usia empat tahunan menggigiti buku tebal sampai klomoh. Maksud saya buku mini seukuran kaset, yang lembar halamannya menggunakan kertas karton setebal dua milimeter. Bocah itu menggigiti buku milik gadis tetangga yang sedang merayakan ulang tahun pertama. Buku berlembar tebal itu memang dirancang untuk anak-anak supaya tidak dimakan….
Bocah laki itu bukan bayi lagi. Tapi dia tahu rasa kertas. Ada lagi seorang pria, yang sejak SD sampai SMA selalu menciumi buku dan majalah baru yang sedang dibacanya. Belum sampai halaman terakhir hidungnya sudah belang lantaran tinta yang diikat keringat. Tinta cetak letterpress pada kertas koran….
Yang disebut buku baru itu bukan hanya yang barusan dibeli dari toko. Buku cerita silat Cina milik persewaan pun dia ciumi. Tentu ibunya marah-marah. “Kamu bisa ketularan TBC gara-gara buku!” katanya. Maklumlah, peristiwa itu terjadi pada akhir 60-an sampai pertengahan 70-an.
Apakah naluri kecintaan manusia terhadap kertas itu merupakan hasil kebiasaan turun temurun? Saya tak tahu. Yang saya rasakan dan buktikan, banyak dari kita yang belum bisa terlepas dari kertas. Ruang Baca pernah melaporkan e-book yang kemasan visualnya membuku dan mengertas, kan?
Yang terbaru, Koran Tempo punya e-paper, dengan tampilan yang seperti koran bersih tanpa lecek. Gampangannya, itulah gambar koran dalam halaman web tapi gambarnya bisa dieksplorasi sebagai teks.
Waks! Rasa kertas! Kapankah kita terbebas dari itu, karena isu lingkungan terus mengemuka. Seeksemplar koran (entah berapa halaman) dikabarkan menghabiskan setidaknya sebatang pohon (entah pohon apa, berapa panjang dan diameter batangnya).
Teknologi digital belum mampu membebaskan manusia dari kecanduan kertas. Terbukti sebagian besar aplikasi untuk end-user –termasuk pembaca PDF — menyediakan menu Print.
Jangan hanya membayangkan kertas sebagai buku, koran, dan majalah. Kertas juga muncul dalam lembar foto. Aplikasi imaji digital, beserta mesinnya, siap mencetak gambar apa saja, bahkan yang berupa hasil jepretan ponsel.
Cetak-mencetak juga berarti tinta. Dalam bahasa awam berarti “mengandung bahan kimia”. Artinya lagi, itu bersinggungan dengan kesehatan dan lingkungan hidup –apalagi kalau tintanya dari jenis yang buruk.
Gara-gara lingkaran setan kertas dan tinta itulah maka kekonyolan terjadi. Pabrik printer boleh menyebut diri sebagai produsen hardware atau periferal. Atau bisa kita simpulkan sebagai pembikin mesin.
Tapi ketika printer makin murah, harga tintanya tidak ikut merosot. Terutama tinta asli yang semerek dengan printer. Taruh kata printer inkjet termurah itu Rp 500.000, sementara harga paket tintanya Rp 150.000, maka biaya tiga kali penggantian tinta sudah menyamai bahkan melebihi harga si printer sebagai barang bekas.
Pertanyaan kita adalah: pabrik hardware itu bikin dan jualan mesin atau justru mendapatkan banyak keuntungan dari chemicals?
Jawabannya ada pada rasa kertas yang membuat manusia kecanduan.
Lagi-lagi soal rasa, tetapi belum pernah saya cicipi, lima tahun lalu ada pabrik printer laser warna yang menggunakan tinta berbahan kedelai. Tinta itu dikemas sebagai batang, mirip malam (wax) untuk mainan anak-anak.
Misalkan tinta itu dipakai untuk mencetak di atas kertas yang (katakanlah) berbahan jagung, tanpa campuran klorin, maka ungkapan “rakus buku” sangat tepat. Setelah dibaca buku tinggal dimakan. Cocok untuk untuk cerita spionase –tapi berlatar tahun 50-an.
Di luar gagasan aneh itu, sebetulnya sudah lama kita mengaitkan kertas dengan makanan, dengan rasa. Buktinya kita mengenal “kertas roti”. Kita juga mengenal “kertas singkong” (bagus untuk lampion dan cetak cukilan kayu).
Rasa dan rasa. Tak harus berurusan dengan lidah melainkan juga persepsi. Lihatlah, banyak kedai yang menyediakan tisu gulung (dalam wadah khusus) di meja makan. Itu jelas tisu peturasan. Kalau saja (maaf) kotak atau tabung penampung tisu itu diganti rol dengan penutup yang berfungsi sebagai penyobek, maka selera mengudap bisa menguap lalu lenyap. Serasa makan sambil duduk di atas kloset.
Rasa juga dekat dengan aroma, yaitu gabungan cecapan lidah dan endusan hidung. Maka wajar jika ada kertas cetak yang tak enak di hidung, baik berupa buku maupun majalah. Misalnya produk cetak yang berbahan matt paper. Terasa betul “kimianya”. Bagaimana rasanya, saya belum tahu karena tak pernah berniat mencicipi secara langsung.
Kalau mencicipi secara tak langsung mungkin pernah. Yaitu melalui makanan (biasanya gorengan) yang dibungkus dengan kertas bekas. Nah, dari urusan makanan inilah muncul ungkapan “kertas bungkus kacang”. Biasanya berbahan kertas HVS, karena kalau memakai kertas koran akan mudah robek bila terkena minyak atau air.
Lantas kertas apakah yang disukai penjual, terutama penjual sayur? Ini dia: kertas robekan dari buku telepon (yellow pages). Tipis, seratnya padat, tak koyak oleh rembesan basah bayam dan kangkung.
Meskipun begitu kertas koran juga masih diperlukan. Dari membungkus kaos (sebelum banyak tas kresek plastik) sampai mengalasi ikan asin. Semuanya kertas bekas. Dunia teks di dalamnya, dari iklan duka cita sampai pidato presiden, entah mengalir ke mana.
Bagaimana dengan kertas polos yang dikemas sebagai buku, tepatnya buku “notes”? Ini juga soal rasa. Tepatnya cita rasa sebuah kelas. Di Jakarta dijual notes cap Moleskin. Ukuran seperempat kuarto, tebal maksimal 100 halaman, dihargai Rp 225.000. Kenapa? Si produsen selalu berpromosi, notesnya dipakai oleh Ernest Hemingway dan Pablo Picasso.
Citra diri dan identifikasi diri. Tak hanya dari bacaan melainkan juga buku polos untuk dicoreti. Saya tak tahu identifikasi diri macam apa yang melekati orang Indonesia lama yang memakai “notes” cap Kera (sedang menulis). Pada tahun 80-an, “notes” resmi majalah Tempo menggunakan gambar kera menulis.
Antyo Rentjoko, seorang blogger di blogombal.org
# http://label.blogombal.org/2007/07/30/munyuk-cap-tempo/