↻ Lama baca 2 menit ↬

KANTONG BERLIPAT DALAM KEHIDUPAN KITA.

jual amplop

Selagi menunggu bus kota dan berteduh di bawah payung penjual teh botol dan rokok itu saya terkesan oleh satu hal. Apa? Dagangan berupa amplop. Maka rasa ingin tahu saya pun mencuat.

“Emang banyak yang beli, Bang?” tanya saya.

“Ada aja sih. Saben ari ada,” kata si penjual yang mangkal dekat Mal Pondok Indah itu.

Hah? Saban hari? Siapa saja pembelinya?

Kata Bang Penjual, pembeli rutin adalah para sopir mobil angkutan barang dan sebagian sopir mobil angkutan umum. Untuk surat-menyurat, seperti korespondensi era jadulkah?

“Buat ngasih setoran ke polisi. Sekarang pake amplop, nggak ngasih STNK,” kata si Abang.

Pembeli lain tak dapat dia identifikasi, “Pokoknya ada aja. Sekali-sekali orang mau kondangan juga mampir, beli amplop buat nyumbang.”

Amplop menjadi bagian dari peradaban manusia sejak zaman Babilonia (2000 SM). Dalam era digital, ikon amplop menjadi sarana visualiasi fungsi e-mail dan SMS. Singkat kata, amplop bukan benda asing apalagi ajaib.

Secara konotatif amplop juga berarti sumbangan, pemberian, dan bahkan sogokan. Maka ada ungkapan, “Kalau ada sepuluh meja berarti butuh sepuluh amplop.”

Kalau saya tak salah merujuk Pak Atmakusumah yang jurnalis senior itu, amplop sebagai suap mulai menyapa para reporter pada awal 70-an. Sejak itulah dikenal istilah “wartawan amplop”.

Istilah “wartawan amplop” bertahan sampai sekarang padahal pemberian uang, kabarnya, juga dilakukan melalui transfer. Namun yang tunai dalam amplop juga masih ada. Istilah sopannya “biaya transpor peliputan”, padahal si reporter sudah diongkosi oleh kantor redaksi bahkan kadang menggunakan kendaraan operasional. Kendaraan itu bisa motor, bisa mobil.

Di luar urusan penyimpangan profesi jurnalistik, amplop juga sering diartikan sebagai angpauw (angpao, angpo). Artinya ya pemberian ekstra, di luar kewajiban resmi si pemberi.

Angpauw berasal dari tradisi masyarakat Cina. Artinya “kertas merah”. Kebetulan amplop untuk perayaan juga berwarna merah. Di kemudian hari angpauw di luar perayaan tak mementingkan warna tapi nilai nominal. Pemakai pemaknaan baru angpauw itu tak hanya keturunan Cina melainkan juga non-Cina. :)

Jika Anda hanya main tagih, minta angpauw saat Imlek, bisa saja kena tagihan balik dari Moy-moy: “Mustinya saya yang dapet karena saya masih lajang!”

Biasanya angpauw diberikan kepada anak-anak kecil dan mereka yang belum menikah. :D

Nota: Ada film lama, judulnya Ratu Amplop. Tanyakan ke Pakde Totot atau J.B. Kristanto (penyusun katalog film Indonesia). :)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *