BUKAN SEKADAR HOMAGE APALAGI ODE.
Tak ada kata takut untuk prajurit sejati nan berjiwa perwira. Selalu siap mempertanggungjawabkan perbuatan tanpa mengorbankan anak buah apalagi orang suruhan yang cuma berkelas “orang kita”. Tanpa banyak kelit. Tanpa banyak dalih. Tanpa berlindung kepada pataka korps. Tanpa bernaung di bawah ketiak bekas bos dan menyalahkan masa lalu.
Tentu perwira sejati tak akan mengorbankan orang yang tak tahu apa-apa semata demi mengamankan petinggi dan korps tertentu. Tak perlu ada Iwik Dwi Sumaji, korban dan sekaligus kambing hitam dalam kasus pembunuhan Udin. Tak perlu ada Mutiari dan Yudi Susanto, dua dari sebagian korban untuk tameng, dalam pembunuhan Marsinah.
Ketika keperwiraan dikandangkan dalam operasi rahasia, bagaimanakah mendudukkan persoalan?
Siapa pun pelaksana tugas, atas nama negara, harus mempertanggungjawabkan kebijakan dan tindakan kepada rakyat pembayar pajak. Lebih luas lagi: kepada kemanusiaan.
Siapa pun yang sampai pada tingkat perwira (juga di sipil) bukanlah manusia abal-abal. Mereka bukan robot. Selain punya loyalitas kepada tugas mereka juga punya akal budi. Tujuan boleh menghalalkan cara bukanlah mainan orang bernurani — apalagi setingkat perwira, tinggi pula.
Selebihnya, untuk kasus pembunuhan Munir, biarlah ketegasan petinggi negeri dan peradilan bernurani yang menyelesaikannya.
Tak perlu lagi ada Munir lain. Enough is enough.
Kita perlu pengingat bahwa tak boleh lagi siapa pun, atas nama “kepentingan negara”, bisa dikorbankan oleh para pemain, oleh para petualang berlembaga.
Pengingat itu, antara lain muncul dalam kemasan musikal: Untuk Munir. Berisi sepuluh lagu, hasil saringan terhadap 132 karya peserta lomba selama Oktober 2007 sampai Januari 2008. Salah satu jurinya adalah blogger: Mas JSOP.
Pengingat agar tak terulang. Itulah cara saya mendudukkan album ini. Bukan sekadar homage, bukan sekadar ode.
“Hentikan setiap penghilangan / Hentikan / Maju melawan” (Masihkah Kita Takut, Amir Sadewo, pembantu penjual soto di Melawai, Jakarta — lagu ini tercipta dalam 20 menit).
“Move away Demon from our face / And an angel wanna be my best friend / ‘cause I am the man with the truth / So take this wheel from me ? Use the hammer of law (Before You Go, Ben [and friends] — penganggur, sesekali mengamen, Bandung).
Adapun Blues untuk Munir (Jeffer L. Gaol, mahasiswa IKJ; lagu tercipta setelah kematian Munir, jauh hari sebelum lomba), terasa sebagai “blues putih”. Sebagai blues tetap ada kesedihan dan kejengkelan bahkan amarah di sana. “Namun siapakah yang harus bertanggung jawab?” tanyanya.
Pertanyaan itu mestinya telah sampai ke sebuah sel tanpa nama nomor yang berisi tahanan tanpa nama. Bukan sel di Mabes Polri yang telah ditingkatkan pengamanannya, tetapi sel dalam hati setiap nama yang bangga dengan atribut perwira.